Sejumlah korban pinjaman online mengadakan aksi di depan Polda Metro Jaya, Jakarta, dengan didampingi oleh pengacara publik dari LBH Jakarta, Sabtu, 23 Maret 2019. Tempo/Fajar Pebrianto
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Tumbur Pardede menyatakan pihaknya belum menerima informasi soal konsumen pinjaman online yang menjadi korban tindak pidana oleh debt collector pinjaman online.
"Akan tetapi asosiasi telah memiliki Code of Conduct dan Komite Etik," kata Tumbur saat dihubungi di Jakarta, Sabtu, 23 Maret 2019. Menurut Tumbur, jika terdapat penyelenggara peer-to-peer lending alias aplikasi pinjaman online yang menjadi anggota asosiasi melanggar Code of Conduct, maka laporan pengaduan segera diproses di Komite Etik.
Hari ini, LBH Jakarta berdampingi 20 orang yang diduga mengalami tindak pidana oleh aplikasi pinjaman online yang mereka ikuti ke Polda Metro Jaya.
Menurut Tumbur, bila terbukti melanggar, maka keanggotaan dari aplikasi ataupun perusahaan yang menaungi di asosiasi akan dicabut. Lalu, asosiasi juga bakal merekomendasikan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mencabut izin terdaftar aplikasi tersebut.
"Ini berdampak langsung bagi BOD (Board of Directors), BOC (Boars of Comissioner) dan pemegang saham, akan diblacklist oleh asosiasi dan OJK," ujarnya.
LBH Jakarta mencatat ada lima jenis tindak pidana yang dilakukan oleh debt collector dari aplikasi pinjaman online kepada nasabah yang meminjam uang, ketika menagih utang tersebut. "Pengancaman, fitnah, penipuan, penyebaran data pribadi, dan pelecehan seksual, itu yang akan dilaporkan hari ini," kata Jeanny Silvia Sari Sirait, pengacara LBH Jakarta saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Sabtu, 23 Maret 2019.