Pemerintah Genjot Ekspor Produk Industri Dibanding Komoditas
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Jumat, 15 Februari 2019 18:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mulai memprioritaskan ekspor produk-produk industri seperti otomotif dan garmen, ketimbang komoditas ekstraktif seperti batu bara dan crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit. Kebijakan ini diambil lantaran harga komoditas yang tengah anjlok dan memperburuk neraca perdagangan Indonesia.
Baca juga: Aturan Ekspor Baru, Sri Mulyani: Eksportir Bisa Hemat Rp 314 M
"Kita lebih ke komoditas industri, seperti kami di Priok mau melakukan ekspor otomotif, perhatikan saja, kami tidak memilih kelapa sawit," kata Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, Jumat, 15 Februari 2019.
Tiga hari sebelumnya, Selasa, 12 Februari 2019, pemerintah memang baru saja melakukan penyederhanaan prosedur ekspor untuk kendaraan bermotor utuh (completely built up/CBU). "Kebijakan ini diterbitkan untuk mendorong tumbuhnya ekspor kendaraan sekaligus mengurangi kebutuhan impor," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Adapun pada hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS ) baru saja mengumumkan angka defisit perdagangan pada Januari 2019 yang sebesar US$ 1,16 miliar. Angka itu naik tipis ketimbang pada Desember 2018 yang sebesar US$ 1,03 miliar dan melonjak hampir 53 persen ketimbang Januari 2018 yang hanya sebesar US$ 756 juta.
Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menyebut defisit US$ 1,16 miliar merupakan angka tertinggi yang dicetak dalam empat tahun periode Presiden Joko Widodo alias Jokowi. Adapun selama Januari 2019 ini, defisit disebabkan oleh anjloknya harga komoditas karena perekonomian global yang tengah lesu.
Suhariyanto mengatakan harga minyak sawit dalam beberapa waktu terakhir memang tengah jatuh. Belum lagi, ekspor sawit Indonesia juga terhambat kampanye negatif di Eropa dan bea masuk tinggi di India. Hal yang sama juga dialami batu bara yang mengalami perlambatan ekspor karena pelemahan ekonomi di negara tujuannya, Cina. Sehingga dari data BPS, ekspor bahan bakar mineral sepanjang Januari 2019 turun 4,52 persen dari Januari 2018.
Sehingga mau tak mau, defisit non-migas Indonesia menjadi penyumbang terbesar defisit Januari 2019. Dari data BPS, defisit non-migas melonjak hampir tiga kali lipat dari Januari 2018 menjadi US$ 704,7 juta. Ini berbanding terbalik defisit migas yang sebesar US$ 454 atau sekitar setengah dari defisit Januari 2018.
Ketika negara tujuan ekspor non-migas bermasalah, Indonesia terpaksa harus menanggung dampaknya. Darmin mencontohkan bagaimana produk ekspor Indonesia ke Cina terpengaruh atas perlambatan ekonomi di negara itu. "Produk yang kita ekspor ke Cina, tidak mudah dialihkan ke negara lain, karena itu hasil pertambangan dan perkebunan," ujarnya.