Faisal Basri Kritik Utang, Sri Mulyani: Jangan Lihat Nominal Saja
Reporter
Dias Prasongko
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 29 Januari 2019 13:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ikut menanggapi kritik soal utang pemerintah yang dilontarkan Faisal Basri. Menurut Sri Mulyani, bunga utang sejalan dengan besaran utang yang ada.
Baca: Utang RI Rp 4.418 T, Sri Mulyani: Banyak Negara yang Lebih Besar
"Jadi kalau mau mengatakan jumlah pembayaran utangnya naik karena memang nominal utangnya naik, kan naik gitu ya," kata Sri Mulyani saat Konferensi Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK di Kementerian Keuangan Jakarta, Selasa, 29 Januari 2019.
Sebelumnya ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyebutkan meski perbandingan jumlah utang pemerintah dengan tingkat Produk Domestik Bruto tidak terlalu besar, ada beberapa catatan mengenai kondisi utang. Ia mencontohkan, tingkat pembayaran bunga utang yang terus naik tiap tahunnya sejak 2013, kepemilikan surat utang yang didominasi oleh asing lebih banyak, dan tax ratio yang masih terbatas.
Sri Mulyani menjelaskan pada 2014 kebijakan moneter di seluruh dunia tidak terlalu ketat. Sehingga saat itu kebijakan tingkat suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia atau BI tidak terlalu tinggi.
Ditambah lagi kondisi tingkat suku bunga internasional saat itu tidak terlalu ketat. "Sehingga stok utang menjadi lebih kecil dan suku bunga rata-rata internasional tidak terlalu ketat dan pembayaran bunganya lebih rendah," ucap Sri Mulyani.
Dalam Dokumen APBN Kita Edisi Januari 2019 dipaparkan posisi utang pemerintah pusat per akhir Desember 2018 mencapai Rp 4.418,3 triliun. Angka tersebut naik 10,6 persen dibanding akhir Desember 2017 sebesar Rp 3.995,25 triliun.
Mayoritas utang pemerintah pusat itu berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) dan disusul oleh pinjaman. SBN hingga akhir 2018 mencapai Rp 3.612,69 triliun, lebih tinggi ketimbang akhir 2017 sebesar Rp 3.248,93 triliun.
Utang pemerintah pusat dari SBN berdenominasi rupiah pada tahun 2018 mengambil porsi terbesar yakni Rp 2.601,63 triliun ketimbang denominasi valas sebsar Rp 1.011,05 triliun. Sementara SBN berdenominasi rupiah dan valas di 2017 masing-masing mencapai Rp 2.341,10 triliun dan Rp 907,83 triliun.
Sementara pinjaman pemerintah pusat per akhir 2018 mencapai Rp 805,62 triliun atau melampaui akhir 2017 sebesar Rp 740,54 triliun. Utang pemerintah pusat sepanjang 2018 didominasi oleh pinjaman dari luar negeri sebesar Rp 799,04 triliun, lebih tinggi daripada 2017 sebesar Rp 314,46 triliun.
Adapun pinjaman pemerintah pusat dari dalam negeri pada 2018 mencapai Rp 6,57 triliun. Angka tersebut jauh di bawah posisi tahun 2017 sebesar Rp 3.193,04 triliun.
Dengan angka PDB sementara tahun 2018 sebesar Rp 14.735,85 triliun, maka rasio utang terhadap PDB mencapai 29,98 persen.
Lebih jauh, Sri Mulyani menyayangkan bahwa tak sedikit orang selalu membandingkan utang dari kacamata nominal sehingga yang terlihat hanya besar utang yang belakangan naik. Padahal, di saat yang sama, publik harus melihat secara lebih luas. Misalnya, saat ini Bank Indonesia juga telah meningkatkan suku bunga acuan.
Baca: Sri Mulyani: Utang Itu Bukan Sesuatu yang Najis
Oleh karena itu ,Sri Mulyani meminta agar masyarakat untuk bijak dalam memandang utang terutama dalam membangun infrastruktur, mengurangi kemiskinan, menjaga ketimpangan ekonomi. "Ya tidak hanya nominal. Kalau nominal ini bergerak tapi nggak dilihat nominal yang lain, itu kan jadi membingungkan. Atau bahkan cenderung dianggap dapat menakut-nakuti masyarakat," ucapnya.