Neraca Perdagangan Jeblok , Pemerintah Evaluasi Kebijakan Ini
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Selasa, 18 Desember 2018 06:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Neraca perdagangan November kembali terjerembab dengan nilai defisit sebesar US$ 2,05 miliar. Badan Pusat Statistik mencatat defisitnya neraca perdagangan terjadi lantaran nilai ekspor sebesar US$14,83 miliar, tidak mampu menopang nilai impor yang lebih tinggi, yaitu impor US$16,88 miliar. Baik nilai ekspor dan impor, masing-masing mengalami penurunan sebesar 6,25 persen dan 4,47 persen dibanding Oktober lalu.
"Kita mengalami defisit yang cukup dalam. Angka defisit ini terbesar sepanjang tahun," ujar Kepala BPS Suhariyanto, Senin 17 Desember 2018.
Baca juga: Defisit Neraca Perdagangan November Bengkak Hingga USD 2,05 M
Tren defisit neraca perdagangan semakin melebar setelah Oktober defisit US$ 1,77 miliar. Padahal, neraca perdagangan sempat surplus pada September lalu, yaitu US$ 0,31 miliar. Suhariyanto menuturkan penurunan ekspor dipicu oleh penurunan ekspor non-migas November 2018 mencapai US$13,46 miliar.
Angka tersebut turun 6,25 persen dibanding Oktober 2018. Selain itu, angka tersebut juga turun dibanding ekspor nonmigas November 2017 sebesar 4,12 persen.
Di sisi lai, kata Suhariyanto, nilai impor Indonesia ada penurunan nilai impor November 2018 sebesar turun 4,47 persen dibanding Oktober 2018. Meski impor turun, angka tersebut belum mampu menekan angka defisit neraca perdagangan. Jika dibandingkan November 2017, impor naik 11,68 persen.
Adapun impor nonmigas November 2018 tercatat US$ 14,04 miliar atau turun 4,80 persen dibanding Oktober 2018. Meski begitu, apabila dibanding November 2017 meningkat 8,79 persen.
Suhariyanto menuturkan faktor defisit yang signifikan terjadi pada neraca migas yang nilai defisitnya mencapai US$ 1,46 miliar pada November 2018. "Defisit di neraca migas ini disebabkan defisit yang cukup besar di hasil minyak sebesar US$ 1,58 miliar, sementara gas masih surplus US$ 549,1 miliar ," kata Suhariyanto.
Sementara itu, defisit nonmigas tercatat sebesar US$ 583,2 juta. Secara kumulatif Januari-November 2018, BPS melaporkan neraca perdagangan masih defisit sebesar US$ 7,52 miliar. Posisi ini jauh berbeda dibandingkan tahun sebelumnya yang mengalami surplus US$ 12,08 miliar.
"Diharapkan upaya menggenjot ekspor dan mengendalikan impor lebih baik lagi agar neraca perdagangan dapat kembali surplus ke depannya," kata Suhariyanto.
<!--more-->
Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan dinamika global menjadi salah satu faktor penyebab membengkaknya neraca perdagangan. Menurut dia, apabila dilihat dari komoditas, pemerintah harus berhati-hati dalam ekspor. Pasalnya, kondisi ekonomi China sedang dalam posisi penyesuaian dari internal atau pun perang dagang dengan AS.
Selain itu sasaran pasar-pasar baru sulit terjangkau karena kondisi ekonomi negara tujuan bertendensi melemah sehingga kemampuan menyerap ekspor akan sangat terbatas.
"Jadi kita perlu sangat hati-hati dalam mengelola, terutama external account kita. Itu tetap sama di mana ekspor masih akan dipacu dari sisi daya kompetisi kita, berbagai kebijakan untuk mendukungnya seperti insentif," ujar Sri Mulyani.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, tengah memperbaiki kondisi neraca pembayaran. Ia mengestimasi neraca pembayaran masih defisit, sekitar 3 persen. "Kalau kemarin capital flow yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dari sisi stabilitas, prospek pertumbuhan ekonomi masih baik," tutur dia.
Sri Mulyani mengatakan akan terus mengevaluasi impor dengan terus mengupayakan langkah-langkah seperti kebijakan pencampuran biodiesel 20 persen, peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), hingga pengendalian barang yang diproduksi dalam negeri. Selain itu, pemerintah juga akan menggunakan instrumen fiskal untuk mendukung industri dalam negeri. "Jadi ini tantangan kita semuanya," kata dia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara jebloknya neraca perdagangan memang disebabkan oleh lemahnya kinerja ekspor sepanjang November. Menurut Bhima, sebagian kinerja ekspor masih sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Misalnya, produk unggulan utama minyak sawit melanjutkan penurunan hingga -9,83 persen dibanding bulan sebelumnya. Menurut Bhima, melorotnya harga minyak sawit disebabkan oleh adanya kelebihan pasokan atau oversupply di beberapa negara, serta hambatan dagang dari beberapa negara khususnya India.
<!--more-->
Selain itu, menjelang hari Raya Natal dan tahun baru dua negara tujuan ekspor utama, yakni Amerika Serikat dan China juga tengah menurunkan permintaan bahan baku industrinya. Bhima mencatat ekspor ke Amerika Serikat anjlok -5,04 persen dan China -7,1 persen secara month to month. Menurut dia, faktor perang dagang juga mulai dirasakan ke kinerja ekspor Indonesia.
Bhima memprediksikan jebloknya neraca perdagangan masih akan berlanjut sampai Desember. Menurut dia, total defisit akan tembus US$ 9 miliar sepanjang 2018. "Bisa dikatakan ini akibat Indonesia telat mengantisipasi hambatan dagang sawit di pasar internasional," kata dia.