Sebut Petani Saat Ini Tak Sejahtera, KRKP Jelaskan Indikatornya
Reporter
Imam Hamdi
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 13 Desember 2018 06:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan target swasembada beras yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak empat tahun lalu masih belum bisa menyejahterakan petani. Hal ini terlihat dari indikator kesejahteraan petani yang tak berubah dilihat dari indeks Nilai Tukar Petani (NTP), meski ada klaim peningkatan beras nasional.
Simak: UI Luncurkan Situs Warung Ilmiah Lapangan untuk Bantu Petani
Koordinator KRKP Said Abdullah menjelaskan dalam kurun waktu 2012-2016, NTP justru mengalami penurunan. Jika pada tahun 2014 NTP sebesar 101,95, lalu dua tahun setelahnya turun menjadi 101,49.
"Penurunan NTP ini selaras dengan terjadinya penurunan upah riil yang diterima buruh pertanian," kata Said dalam keterangan tertulis, Rabu, 12 Desember 2018.
Ia menuturkan pada tahun 2014 upah riil buruh pertanian sebesar Rp39.400 per hari. Jumlah ini mengalami penurunan menjadi Rp37.900 per hari. Pada tahun-tahun berikutnya pun, kata dia, tingkat kesejahteraan petani tidak bergerak naik.
Bahkan, mengacu data Badan Pusat Statistik, NTP pada Agustus 2018 berada di level 102,56, yang berarti turun 0,49 % dari posisi akhir 2017. Hal ini, kata dia, mengindikasikan bahwa daya beli atau kesejahteraan petani pada tahun 2018 turun 0,49 persen.
Said menuturkan penurunan NTP yang bertolak belakang dengan klaim peningkatan produksi beras secara nasional tersebut merupakan bukti kesehateraan petani cenderung menurun. Pada tahun 2018, kata dia, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi gabah mencapai 80 juta ton gabah atau setara 46,5 juta ton beras.
Dengan perhitungan ini maka diperkirakan terjadi surplus sebesar 13,03 juta ton. Namun, belakangan data tersebut dikoreksi BPS. Hasilnya, surplus produksi beras hanya 2,8 juta ton, namun secara agregat terjadi peningkatan produksi beras nasional.
<!--more-->
Bahkan kementerian pertanian telah menyatakan pencapaian swasembada beras. Namunm di sisi lain, menurut dia, perbaikan taraf kesejahteraan petani masih belum optimal. "Peningkatan produksi yang terjadi seharusnya mampu memperbaiki kehidupan keluarga petani padi," ucapnya.
Petani padi yang jumlahnya mencapai 17 juta keluarga, 55,33 persennya petani gurem, (BPS, 2013) seyogyanya menjadi pelaku usaha yang menerima manfaat paling besar. Tapi sayangnya hal itu belum sepenuhnya terjadi, petani masih pelaku yang bekerja paling berat, berpenghasilan paling kecil. "Petani belum berdaulat," ujarnya.
Said mengatakan tidak berdaulatnya petani dalam menentukan harga beras, terungkap dalam kajian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) yang membedah peta aktor perberasan nasional.
Penelitian tersebut dilaksanakan di sentra produksi padi di jalur Pantai Utara Karawang, Subang dan Jakarta. Kajian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai dengan November 2018. Hasilnya, petani merupakan aktor terpenting dalam rantai produksi beras nasional.
Sayangnya, petani juga terdidentifikasi sebagai aktor terlemah dalam rantai tersebut, terutama dalam hal menentukan harga. "Situasi ini tentu saja tidak adil dan merugikan petani," ucapnya.
Karena itu, diperlukan upaya penguatan rantai nilai dan bisnis gabah serta beras yang berkeadilan dan berkelanjutan. Selain itu, adanya rantai nilai yang adil bagi seluruh pelaku rantai nilai bisa menjadi jaminan keberlanjutan bisnis merupakan tuntutan saat ini.
Menurut dia, untuk menciptakan rantai nilai dan bisnis yang adil dan berkelanjutan tak cukup hanya perlunya pemahaman bersama, namun juga adanya kelembagaan dan tata aturan hingga adanya aksi kolektif dari semua pihak pelaku rantai nilai beras. "KRKP mendorong mendorong perbaikan pendapatan petani melalui perbaikan rantai nilai yang adil."