Rating Negatif Utang Perbankan Dipengaruhi Kenaikan Suku Bunga
Reporter
Larissa Huda
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 5 Desember 2018 06:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Prospek (outlook) peringkat utang perbankan Indonesia diprediksi negatif dari sebelumnya stabil oleh Lembaga pemeringkat global Fitch Ratings. Meski begitu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menampik anggapan tersebut. Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho menuturkan secara keseluruhan kondisi perbankan Indonesia masih kondusif.
Baca: 2019, Moody's: Kondisi Utang Perusahaan Nonkeuangan RI Stabil
“Kalau kami melihat perbankan masih baik-baik saja. CAR (capital adequacy ratio) masih oke, masih tertinggi. DPK (dana pihak ketiga) masih tumbuh terus,” kata Samsu, Selasa 4 Desember 2018.
Menurut Samsu, perbankan masih optimistis bahwa kondisi perbankan tahun depan tidak akan jauh berbeda dengan tahun ini. Hanya saja, Samsu menuturkan memang ada tantangannya pada tahun depan, seperti kondisi global yang masih dinamis, tahun politik, dan nilai kurs.
Namun, ia memastikan outlook negatif untuk rating utang bank 2019 tidak akan berdampak buruk bagi upaya bank menambah likuiditas pendanaan atau modal tahun depan.
“Tidak (terpengaruh), itu faktornya kan banyak. Investor asing masih banyak yang masuk untuk bisnis bank di Indonesia, artinya sebetulnya pasti dampak itu masih bisa di-manage, mereka sudah perhitungkan tantangannya pada tahun depan dalam rencana bisnis mereka," kata Samsu.
Salah satu pengurus Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) yang juga Direktur Bank BCA Santoso Liem menuturkan penurunan rating dari lembaga tersebut karena melihat dari outlook industri perbankan di Indonesia. Hal tersebut, kata dia, juga dipengaruhi karena kondisi ekonomi terhadap dampak global.
<!--more-->
“Namun di luar rating country masih ada rating institusi, untuk itu kami tetap menjaga fundamental perusahaan kita tetap kokoh dan memiliki kinerja yang bagus. Saya pikir itu yang bisa kita lakukan," ujar Santoso.
Direktur Utama PT Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi menuturkan tidak mengetahui secara detail kriteria yang diterapkan oleh Fitch dalam memberikan rating utang perbankan pada suatu negara. Namun ia berpendapat baik atau buruknya kondisi perbankan tidak berdiri sendiri.
Namun, sangat berkaitan dengan kondisi ekonomi makro di Indonesia dengan para debitur yang memerlukan stabilitas ekonomi dan keamanan. “Secara umum baik, namun diperlukan upaya untuk terus menerus menstabilkan ekonomi makro mengingat kita semua sedang menghadapi tahun politik," kata dia.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja menuturkan perbankan harus berhati-hati mengatur pertumbuhan kredit dan likuiditas sehingga kondisi perbankan akan tetap kondusif. "Kalau dari kami tetap menjaga agar LFR (Loan to Funding Ratio) jangan lebih dari 85 persen. Tahun depan bisa membaik asalkan kurs menguat dan harga minyak di luar negeri turun,” ujar Jahja.
Direktur Keuangan dan Treasuri BTN Iman Nugroho Soeko melihat turunnya rating kemungkinan terbesar karena adanya tingkat suku bunga di Indonesia yang meningkat. Sehingga, ada kemungkinan risiko kredit perbankan Indonesia juga meningkat dan margin bunga bersih alias net interest margin (NIM) tertekan.
“Ini masih lebih kepada kondisi makro, jadi jika kondisi makro perbankan kita membaik nanti pasti outlook/ratingnya juga meningkat,” kata Iman.
Hal serupa juga dituturkan Wakil Direkrtur Utama BNI Herry Sidharta ia mencatat suku bunga naik selama sembilan bulan sudah mecapai 150 bps. Hal itu menyebabkan adanya kenaikan beban bunga disisi liabilitas.
Kenaikan rate acuan ini, kata dia, juga memberi tantangan likuiditas yang secara industri perbankan rata-rata sembilan bulan pertama berada di kisaran 92 persen. Artinya, jauh mengetat dibanding rata-rata pada periode yang sama tahun lalu, yaitu sekitar 89 persen.
<!--more-->
“Kami sendiri akan tetap optimalisasi CASA dalam mendukung ekspansi aset produktif secara selektif untuk mengontrol kualitas aset, efisien dlm operasional, dan lakukan yield enhancement,” kata dia.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai rating tersebut tidak relevan lagi dengan kondisi rupiah yang cederung menguat. Ia melihat masih ada pertumbuhan kredit yang masih cukup baik, yaitu bisa sampai 12 persen. Lalu, ia menilai rasio kredit macet (NPL) pun cederung menurun jadi 2,7 persen. Artinya, kata dia, industri perbankan Indonesia masih kuat. "Lemahnya rupiah kemungkinan dilihat adanya risiko buat perbankan,” kata dia.
Hal tersebut dapat dilihat dari faktor debitur yang terpegaruh akibat mengandalkan impor di tengah melemahnya rupiah. Namun, Josua menilai apabila rupiah menguat, risikonya tidak seburuk itu. Apalagi, apabila dilihat dari permodalan dan bisnis pertumbuhan aset juga tumbuh. “Saya pikir tidak ada alasan untuk meletakkan rating jadi negatif karena potensi growth perbankan masih tetap besar,” kata dia.
Simak terus berita tentang Utang hanya di Tempo.co