First Media dan Bolt Minta Perpanjangan Pelunasan Utang
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 21 November 2018 07:14 WIB
TEMPO.CO, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika masih menunda terbitnya Surat Keputusan (SK) pencabutan izin frekuensi 2,3 GHz kepada PT First Media Tbk dan PT Internux (Bolt). Penundaan ini dikarenakan kedua perusahaan itu telah mengajukan proposal perdamaian yang berisi penundaan pembayaran utang untuk pembayaran izin frekuensi.
Baca juga: Bolt Bakal Berhenti Setelah Izin Frekuensi PT First Media Tbk Dicabut
Pelaksana tugas Kepala Biro Humas Kominfo, Ferdinandus Setu mengatakan awalnya SK pencabutan izin rencananya akan dikeluarkan pada Senin, 19 November 2018. Penyebabnya, kedua perusahaan tersebut tidak membayar atas izin frekuensi 2,3 GHz selama 24 bulan berturut-turut hingga batas jatuh tempo yang telah ditentukan, yaitu pada tanggal 17 November 2018.
Namun pada pukul 12.00 WIB Senin lalu, proposal perdamaian dari kedua perusahaan itu masuk ke Kominfo. "Mereka menjanjikan dan berkomitemen pada September 2020 semuanya sudah lunas," kata Ferdinandus kepada Tempo, Selasa 20 November 2018.
Adapun kewajiban pembayaran frekuensi pada tahun 2016 dan 2017 yang belum dibayarkan oleh PT First Media Tbk adalah Rp 364 miliar, sementara PT Internux sebesar Rp 343 miliar. Ferdinandus mengatakan rapat yang digelar di tingkat Kominfo belum mendapatkan kesimpulan hingga hari Senin berakhir.
Rencananya, rapat akan dilanjutkan pada Rabu, 21 November 2018. Ia mengatakan dalam rapat, masih dipertimbangakan pilihan mana yang paling baik bagi ekosistem industri telekomunikasi dan bagi pelanggan. "Kalau kita terima proposal itu, mungkin akan kami perketat lagi syaratnya, misal jadi bukan September 2020, tapi lebih cepat," kata Ferdinandus.
Saat ini, First Media menggunakan frekuensi 2,3 GHz di zona 1 yaitu Sumatera bagian utara, Zona 4 di Jabodetabek, dan Banten. Sementara Internux lewat produk mereka, Bolt, di zona 4 Jabodetabek dan Banten.
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi jo. Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, dinyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk tujuan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan jika kedua perusahaan berkomitmen melunasi pembayaran tunggakan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, maka SK tidak akan diteken, apalagi diterbitkan. Namun Rudi mengaku belum mengetahui cara pembayaran yang akan dilakukan ketiga perusahaan.
Selain itu, Kominfo juga tidak bisa memutuskan sendiri karena harus berkoordinasi dulu dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), Kementerian Keuangan. "Harus koordinasi dulu karena ini sudah masuk injury time," kata Rudi.
Pengacara PT First Media Tbk Nien Rafles Siregar enggan berkomentar terkait isu pencabutan izin frekuensi ini. "Saya gak bisa komentar," kata Rafles kemarin.
Jika resmi dicabut, Ferdinandus mengatakan pencabutan izin frekuensi 2,3 GHz First Media tidak akan mempengaruhi layanan internet FastNet dan TV Kabel dari First Media. Sebab, kedua layanan tersebut tidak termasuk ke dalam izin frekuensi 2,3 Ghz. Namun pencabutan ini berpengaruh pada layanan mobile broadband dengan produk bernama Bolt. “Produk bernama Bolt itu akan terdampak otomatis, layanan berhenti,” kata Ferdinandus.
FAJAR PEBRIANTO | KARTIKA ANGGRAENI