Industri Fintech Dirugikan dengan Kehadiran Pemain Nakal
Reporter
Ghoida Rahmah
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Kamis, 15 November 2018 07:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika berupaya mengantisipasi kehadiran perusahaan financial technology (fintech) pinjam meminjam online yang berpotensi merugikan masyarakat. Salah satu langkah yang telah ditempuh adalah memblokir ratusan aplikasi fintech ilegal yang sebelumnya didasarkan pada laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pengawas industri tersebut.
Simak: OJK: Ini Ciri-ciri Fintech Pinjaman Online Ilegal
"Kami sudah memblokir ada 275 lalu ditambah 66 fintech atau 300 an fintech yang tak berizin," ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo, Samuel Abrijani Pangerapan, di Jakarta, Rabu 14 November 2018.
Samuel menuturkan lembaganya mendorong terciptanya iklim industri fintech yang sehat, dengan memastikan aspek legalitas serta keamanan bagi penggunanya. "Kami memberikan rambu-rambu ke mereka apa saja yang diizinkan dan apa saja yang dilarang," katanya. Menurut dia hal tersebut wajar dilakukan sebab fintech merupakan industri baru yang masih berkembang dan membutuhkan dukungan regulasi serta infrastruktur yang tepat.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan pemberantasan pelaku fintech khususnya fintech pinjam meminjam online mutlak diperlukan. "Karena mereka merusak image industri fintech, jadi kesannya sekarang fintech lending itu jahat, dan kami merasa dirugikan karena itu," ujarnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sebelumnya menuturkan peningkatan transaksi jasa startup fintech yang terus meningkat di satu sisi masih bisa digenjot lebih banyak lagi. "Memang layanan fintech di Indonesia rata-rata saat ini masih merupakan fintech lending saja," ujarnya.
Dia pun menyoroti para pengguna fintech saat ini masih didominasi oleh kalangan anak muda atau milenial atau mereka yang sudah mengenal perbankan (bankable). "Seharusnya fintech bisa didorong kepada pasar yang baru," ucapnya.
Rudiantara berharap ke depan pelaku industri fintech tanah air dapat memperluas aksesnya. "Kami inginnya menciptakan unicorn yang berbasis fintrch, sehingga ini juga bisa meningkatkan aliran investasi ke dalam negeri."
Sementara itu, Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Triyono menyampaikan saat ini industri jasa keuanhan Indonesia mulai memasuki transisi dari aktivitas keuangan tradisional menuju digital.
<!--more-->
"Berdasarkan data kami 50 persen pengguna basis digital itu memang berusia di bawah 30 tahun," ucapnya. Hal itu didukung oleh data pengguna smartphone di Indonesia yang jumlahnya mencapai 63,4 juta pengguna, dengan 132,7 juta pengguna internet aktif.
Menurut Triyono, ke depan kolaborasi antara lembaga jasa keuangan tradisional seperti perbankan dengan pelaku fintech pun diprediksi akan semakin marak. "Karena kami melihat ke depan memang akan full digital." Namun, dia mengatakan regulator akan tetap memantau ide dan inovasi digital yang hadir tersebut dan harus bisa dipertanggungjawabkan hingga mendaftar dan mendapatkan izin.
Salah satunya melalui metode Regulatory Sandbox. "Sekarang pendekatannya begitu ada inovasi kami tak langsung menolak, tapi kami mengkaji dan mempelajari dulu, lalu mengevaluasinya, apakah aman atau tidak, kalau belum akan diminta memperbaiki," katanya. Jika sudah memenuhi syarat tersebut maka mereka pun dapat melanjutkan usaha.
Presiden Direktur Bank Mayapada Haryono Tjahjarijadi menjadi kolaborasi jasa keuangan tradisional dan fintech tak lagi bisa dihindarkan. Dia pun tak menampik jika perusahannya tengah melirik sejumlah fintech yang berpotensi untuk diajak bersinergi.
"Kami sedang mengkaji sinergi ini terutama di bidang peer to peer lending dalam bentuk pembiayaan atau channeling," katanya. Haryono berharap dengan kerja sama itu dapat mendorong peningkatan akses pembiayaan untuk usaha kecil menengah, dan untuk fintech berbasis sistem pembayaran dapat membantu perluasan transaksi.
GHOIDA RAHMAH | MUHAMMAD HENDARTYO