Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kanan) berjabat tangan dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo (kiri) seusai rapat paripurna ke-30 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 12 Juli 2018. Rapat paripurna tersebut mengagendakan penyampaian Laporan Hasil Pembahasan Pembicaraan RAPBN 2019 dan RKP 2019 oleh Banggar DPR. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani menepis pandangan fraksi Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) soal utang saat rapat paripurna pengesahan RUU APBN 2019. Sri Mulyani mengatakan defisit keseimbangan primer yang konsisten turun menuju positif memberikan bukti kuat sekaligus sinyal positif bahwa pengelolaan APBN selama ini telah berada pada jalur yang tepat.
"Defisit keseimbangan primer yang konsisten turun dan bahkan menuju positif adalah bukti kuat dari jawaban yang sangat jelas atas pandangan Partai Gerindra dan PKS mengenai masalah utang," kata Sri Mulyani di dalam rapat paripurna di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 31 Oktober 2018.
Pandangan tersebut diungkapkan Sri Mulyani menanggapi pernyataan perwakilan fraksi Gerindra Bambang Haryo dan dari fraksi PKS. Bambang mengatakan alokasi belanja rutin termasuk pembayaran utang dalam dan luar negeri telah menghabiskan porsi terbesar dalam belanja negara. "Keseimbangan primer masih dalam posisi defisit. Kondisi isi sangat memprihatinkan," ujar Bambang.
Adapun Fraksi PKS berpendapat pemerintah harus berhati-hati dalam kebijakan utang. Defisit APBN mengalami tren peningkatan setiap tahunnya, dari yang hanya sebesar 2,34 persen pada 2014, jadi 2,57 persen pada 2017.
Menjawab pandangan Fraksi Gerindra dan PKS, Sri Mulyani mengatakan pemerintah menjaga keberlanjutan fiskal, terlihat dari target defisit keseimbangan primer pada 2019 mencapai Rp 20,1 triliun. Jumlah tersebut lebih rendah dari proyeksi realisasi keseimbangan primer tahun ini sebesar Rp 64,8 triliun.
Sri Mulyani mengatakan defisit APBN 2019 dibidik terjaga pada batas aman di kisaran 1,84 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau sebesar Rp 296 triliun. Defisit tersebut lebih rendah dari outlook 2018 sebesar 2,12 persen terhadap PDB atau Rp 314,2 triliun.