BPK Berkukuh Freeport Harus Penuhi Izin Pinjam Kawasan Hutan
Reporter
Bisnis.com
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Selasa, 23 Oktober 2018 10:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyatakan PT Freeport Indonesia harus menyelesaikan rekomendasi hasil pemeriksaan terkait dengan persoalan lingkungan berupa izin peminjaman kawasan hutan dan perubahan ekosistem akibat limbah hasil olahan tambang.
Baca: Inalum: Tak Ada yang Bisa Batalkan Divestasi Freeport
Auditor Utama Keuangan Negara IV Laode Nusriadi menyebutkan bahwa merujuk hasil pemeriksaan BPK, Freeport memang belum menuntaskan kewajibannya terkait dengan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Dengan demikian kementerian atau lembaga terkait harus memastikan bahwa rekomendasi BPK dijalankan.
"Itu terserah kementerian lembaga, apakah itu juga bagian dari proses (divestasi saham) itu wewenang mereka," kata Nusriadi di BPK, Senin, 22 Oktober 2018.
BPK sebelumnya mencatat potensi kehilangan pendapatan negara akibat pengelolaan pertambangan mineral Freeport yang belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan. Akibat ketidakpatuhan tersebut, potensi kebilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 2009-2015 senilai US$ 445,96 juta.
Saat memaparkan hasil pemeriksaan tahun lalu, BPK menemukan banyak kewajiban Freeport yang dibayar di luar ketentuan. Sejumlah kewajiban itu di antaranya royalti tembaga yang seharusnya dalam regulasi dibayarkan senilai 4 persen, justru hanya 3,5 persen dibayarkan. Selain itu royalti emas hanya dibayarkan 1 persen, padahal dalam aturannya 3,75 persen.
Adapun regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 dan PP No.9 Tahun 2012 tentang tarif PNBP di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Aturan itu menetapkan bahwa tarif royalti tembaga sebesar 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen. Sementara itu, tarif dalam kontrak karya tembaga 3,5 persen, emas 1 persen, dan perak 1 persen.
Padahal apabila merujuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, seharusnya ketentuan tarif dalam KK segera disesuaikan dengan PP paling lambat 1 tahun. Berdasarkan temuan BPK, hal itu baru diperbaiki dalam kesepakatan tanggal 25 Juli 2016.
BPK juga memaparkan bahwa keberadaan regulasi yang berlaku selama ini memang memberikan semacam kelonggaran kepada Freeport. Kontrak Karya misalnya, disebut-sebut juga mengindikasikan adanya kejanggalan.
Pasalnya, proporsi tarif royalti tembaga malah lebih tinggi dibandingkan dengan emas yang hanya 1 persen. Padahal, potensi tambang di perusahaan asal Amerika Serikat tersebut sebagian besar adalah emas.
Dari kasus tersebut, Nusriadi menganggap ada skema pelonggaran aturan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu termasuk di Kementerian ESDM. Kesepakatan yang dilakukan pada 25 Juli 2014 menurut mereka justru meringankan kewajiban Freeport Indonesia kepada pemerintah.
Selain persoalan itu, BPK juga menyebutkan bahwa Freepot sejak 2012 juga belum membayarkan dividennya kepada pemerintah Indonesia. Alasan Freeport Indonesia, dividen itu tak dibayarkan untuk menambah modal . Namun demikian, sampai saat ini BPK belum menemukan indikasi kerugian negara dari tak dibagikannya dividen tersebut.
Temuan lembaga auditor negara itu juga mencakup pengawasan dan pengendalian Kementerian ESDM terhadap pemasaran produk hasil tambang Freeport yang masih lemah. Apabila melihat UU No.4 Tahun 2009 PTFI wajib membangun smelter paling lambat 5 tahun sejak berlaku, artinya seharusnya tahun 2014 PTFI sudah membangun smelter.
Namun sampai kini realisasi smelter tak kunjung diwujudkan. Selain itu, ternyata pada saat pelarangan ekspor konsentrat diterapkan Freeport tetap mengekspor konsentrat sebanyak 7 invoice sebanyak 10.122,186 ton.
Baca: Awal Mula Fahri Hamzah Sebut Divestasi Freeport Hoaks
Freeport juga belum mengajukan IPPKH kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akibatnya pemerintah kehilangan potensi PNBP penggunaan kawasan hutan. Temuan lainnya yakni kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport senilai US$ 1,43juta yang seharusnya masih ditempatkan pada pemerintah Indonesia.
BISNIS