Krisis Turki, Ini Dampaknya ke Negara yang Berutang Besar ke Cina

Selasa, 21 Agustus 2018 16:59 WIB

AS Minta Cina Naikkan Kurs Yuan

TEMPO.CO, Jakarta - Krisis mata uang Turki berimbas pada masalah keuangan negara-negara berkembang di Asia, khususnya yang telah mengambil pinjaman besar untuk proyek-proyek infrastruktur di bawah jalur sutera modern yang diinisiasi Cina, One Belt and Road Initiative. Pasalnya, krisis mata uang Lira memaksa negara-negara Asia untuk mempertimbangkan kenaikan suku bunga untuk menopang mata uang mereka, tak terkecuali di Indonesia.

Baca: Bukan Cina, Ini Negara Pemberi Utang Terbesar ke RI

"Krisis ini juga menambah biaya pembayaran utang yang melemahkan stabilitas keuangan," seperti dilansir dari laporan The Center for Global Development yang dikutip oleh Nikkei Asian Review, Selasa, 21 Agustus 2018.

The Center for Global Development, yang merupakan lembaga think tank Amerika Serikat, menyebutkan pinjaman dari Cina, menurut laporan itu, membantu negara-negara berkembang untuk perbaikan dan peningkatan infrastruktur yang mereka butuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, Namun biaya pembayaran utang yang berat mengancam dan merusak stabilitas keuangan negara berkembang tersebut.

Depresiasi Lira terjadi akibat perselisihan hubungan ekonomi Turki - AS.

Advertising
Advertising

Lembaga itu menyebutkan Laos, Maladewa, Mongolia, Pakistan dan empat negara lain yang mengambil bagian dalam proyek Belt and Road China semakin terancam. Di Mongolia, misalnya, utang luar negerinya sekarang sekitar delapan kali cadangan devisa negara.

Sementara utang luar negeri Laos dan Kyrgyzstan melebihi 100 persen dari produk domestik bruto. "Negara-negara berutang sangat rentan terhadap depresiasi mata uang secara mendadak. Ketika nilai mata uang mereka jatuh, semakin sulit bagi mereka untuk melunasi utang-utang mereka, yang biasanya dibayarkan dalam mata uang dolar," tulisnya.

Kehadiran Cina yang tumbuh menjadi pemodal global mulai mengikis pengaruh lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) yang sebelumnya telah cukup lama menjadi pemberi pinjaman bagi negara-negara di dunia. Resep kebijakannya untuk menyelamatkan negara-negara yang bermasalah secara finansial dengan syarat reformasi fiskal, yang dijuluki "Konsensus Washington" telah membentuk inti tatanan keuangan pascaperang.

Tindakan ini membantu meredam krisis mata uang Meksiko tahun 1994-1995 dan krisis mata uang Asia tahun 1997, akibat pengetatan kebijakan moneter AS. Dengan kehadiran Cina yang muncul sebagai pemberi pinjaman alternatif, beberapa negara mengalihkan dirinya dari IMF.

Turki yang menjadi episentrum gejolak keuangan saat ini, menolak bantuan IMF begitu pun dengan Pakistan. Pakistan sering menjadi penerima bantuan IMF di masa lalu, tetapi pemerintahan baru di bawah Perdana Menteri Imran Khan, yang dibentuk memiliki sikap berbeda.

<!--more-->

Asad Umar selaku menteri keuangan Pakistan telah mengatakan bahwa mencari dukungan dari IMF akan menjadi sebuah opsi mundur setelah mengeksplorasi opsi pilihan lain seperti pinjaman sementara dari Cina.

Pada akhir Juli, cadangan mata uang asing Pakistan rebound ke US$ 10,3 miliar dari US$ 9 miliar dan memicu spekulasi bahwa Cina telah memperpanjang bantuan keuangan. Namun, karena Pakistan menjadi lebih bergantung pada Cina, disiplin fiskal akan cenderung dikesampingkan dan meningkatkan risiko terbebani utang secara berlebihan. Utang luar negeri Pakistan telah meningkat 50 persen selama tiga tahun terakhir, mencapai hampir US$ 100 miliar.

Pembangunan bagian Barat Laut pulau Mischief Reef, Kepulauan Spratly, Laut China Selatan, dilihat dari udara, 8 Januari 2016. Terlihat tanggul sepanjang 1.900 kaki atau sekitar 589 m, bangunan-bangunan baru, dan dermaga yang telah dan sedang dibangun pemerintah Tiongkok. REUTERS/CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/Digital Globe

Dan tanpa rencana reformasi fiskal yang kuat, Pakistan akan memiliki ruang keuangan lebih sedikit untuk bermanuver selama dua tahun ke depan. Biaya pembayaran utangnya diperkirakan akan meningkat menjadi hampir 50 persen dari pendapatan pajak dari 30 persen sekarang.

Seorang ahli keuangan internasional yang pernah bekerja di IMF menunjukkan bahwa IMF telah membuat kerangka pinjaman lebih fleksibel. Namun, bagi negara-negara berkembang, bantuan dari Cina, yang menyatakan bahwa itu tidak mengganggu urusan dalam negeri dinilai lebih menarik.

Sri Lanka juga menghadapi tekanan tersendiri. Bahkan Sri Lanka telah menyerahkan hak untuk mengelola Pelabuhan Hambantota ke perusahaan Cina. Jika pengaturan seperti itu menjadi kebiasaan, risiko ini bisa berpengaruh ke keamanan nasional.

Di sisi lain, kereta api berkecepatan tinggi yang dibangun di Laos di bawah Belt and Road Initiative China diperkirakan menelan biaya US$ 6 miliar, atau sekitar 40 persen dari PDB negara itu. Meskipun Cina membiayai sekitar 70 persen dari biaya kereta api, Laos telah mengambil pinjaman dari bank-bank Cina dan pemberi pinjaman lainnya untuk menutupi sebagian besar sahamnya. Membayar kembali pinjaman tersebut akan menjadi beban ekonomi.

Di Asia Tengah, Turkmenistan juga sedang berjuang mengatasi krisis ekonomi dan krisis likuiditas yang diakibatkan oleh pembayaran utang ke Cina. Tajikistan juga telah menjual hak untuk mengembangkan tambang emas ke sebuah perusahaan Cina sebagai pengganti pembayaran kembali pinjaman.

Baca: Perang Dagang AS-Cina, Sri Mulyani Beberkan Risikonya bagi RI

Kesediaan Cina untuk memberikan pinjaman dapat menawarkan penangguhan hukuman sementara dari struktur kebijakan yang ditawarkan IMF itu. Namun kesediaan Cina membuat negara penerima bantuan harus mengorbankan kesehatan keuangan dan ekonomi jangka panjang mereka.

Berita terkait

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

6 jam lalu

Badan Mata-mata Seoul Tuding Korea Utara Rencanakan Serangan terhadap Kedutaan Besar

Badan mata-mata Korea Selatan menuding Korea Utara sedang merencanakan serangan "teroris" yang menargetkan pejabat dan warga Seoul di luar negeri.

Baca Selengkapnya

Gelombang Panas Serbu India sampai Filipina: Luasan, Penyebab, dan Durasi

16 jam lalu

Gelombang Panas Serbu India sampai Filipina: Luasan, Penyebab, dan Durasi

Daratan Asia berpeluh deras. Gelombang panas menyemai rekor suhu panas yang luas di wilayah ini, dari India sampai Filipina.

Baca Selengkapnya

Bahlil Bantah Cina Kuasai Investasi di Indonesia, Ini Faktanya

1 hari lalu

Bahlil Bantah Cina Kuasai Investasi di Indonesia, Ini Faktanya

Menteri Bahlil membantah investasi di Indonesia selama ini dikuasai oleh Cina, karena pemodal terbesar justru Singapura.

Baca Selengkapnya

Segera Hadir di Subang Smartpolitan, Berikut Profil BYD Perusahaan Kendaraan Listrik

1 hari lalu

Segera Hadir di Subang Smartpolitan, Berikut Profil BYD Perusahaan Kendaraan Listrik

Keputusan mendirikan pabrik kendaraan listrik di Subang Smartpolitan menunjukkan komitmen BYD dalam mendukung mobilitas berkelanjutan di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Jalan Raya di Cina Ambles, Sedikitnya 48 Orang Tewas

1 hari lalu

Jalan Raya di Cina Ambles, Sedikitnya 48 Orang Tewas

Korban tewas akibat amblesnya jalan raya di Cina selatan telah meningkat menjadi 48 orang

Baca Selengkapnya

Hasil Piala Uber 2024: Tim Bulu Tangkis Putri Cina dan Jepang Bakal Duel di Semifinal

1 hari lalu

Hasil Piala Uber 2024: Tim Bulu Tangkis Putri Cina dan Jepang Bakal Duel di Semifinal

Tim bulu tangkis putri Cina dan Jepang melenggang mulus ke semifinal Uber Cup atau Piala Uber 2024.

Baca Selengkapnya

Filipina Salahkan Beijing karena Memancing Ketegangan di Laut Cina Selatan

2 hari lalu

Filipina Salahkan Beijing karena Memancing Ketegangan di Laut Cina Selatan

Manila menuduh penjaga pantai Cina telah memancing naiknya ketegangan di Laut Cina Selatan setelah dua kapalnya rusak ditembak meriam air

Baca Selengkapnya

Survei: 58 Persen Responden Percaya Beijing Gunakan TikTok untuk Pengaruhi Opini Warga Amerika Serikat

2 hari lalu

Survei: 58 Persen Responden Percaya Beijing Gunakan TikTok untuk Pengaruhi Opini Warga Amerika Serikat

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters/Ipsos mengungkap 58 persen responden percaya Beijing menggunakan TikTok untuk mempengaruhi opini warga Amerika.

Baca Selengkapnya

EHang Lebih Dekat Lagi ke Operasional Taksi Terbang Komersial di Cina

2 hari lalu

EHang Lebih Dekat Lagi ke Operasional Taksi Terbang Komersial di Cina

EHang raih sertifikat produksi untuk bakal taksi terbang EH216-S. Yang pertama di industri eVTOL dunia.

Baca Selengkapnya

Marak WNI Jadi Korban Penipuan Berkedok Pengantin di Cina, KBRI Ungkap Modusnya

3 hari lalu

Marak WNI Jadi Korban Penipuan Berkedok Pengantin di Cina, KBRI Ungkap Modusnya

Banyak WNI yang diiming-imingi menjadi pengantin di Cina dengan mas kawin puluhan juta. Tak semuanya beruntung.

Baca Selengkapnya