Pertamina Berpotensi Rugi Rp 23 T Akibat Salurkan Premium
Reporter
Lani Diana Wijaya
Editor
Dewi Rina Cahyani
Minggu, 20 Mei 2018 13:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudistira Adhinegara, mengatakan keputusan pemerintah menyalurkan bahan bakar minyak atau BBM jenis Premium di Jawa, Madura, Bali akan menambah beban PT Pertamina (Persero). Bhima memprediksi potensi kerugian atau potential loss Pertamina bisa membesar sekitar Rp 20 triliun sampai Rp 23 triliun.
"Pasti akan menambah beban Pertamina dari sisi potential loss-nya membesar," kata Bhima saat dihubungi Tempo, Minggu, 20 Mei 2018.
Bhima memaparkan potential loss Pertamina mencapai Rp 18,9 triliun pada 2017, dengan realisasi harga minyak mentah Indonesian Crude Price (ICP) US$ 51,1 per barel. Bila ICP saat ini di kisaran US$ 66 per barel, potential loss Pertamina diprediksi mencapai Rp 20 triliun sampai Rp 23 triliun hingga akhir tahun ini.
Sebelumnya, pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM. Revisi itu dilakukan untuk menangani kelangkaan bahan bakar Premium di beberapa wilayah di Indonesia.
Setelah Presiden Joko Widodo alias Jokowi meneken revisi, penyaluran Premium di Jawa, Madura, dan Bali akan masuk golongan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Artinya, Pertamina harus menyalurkan Premium ke Jawa, Madura, dan Bali. Saat ini, Premium di Jawa, Madura, dan Bali termasuk BBM umum. Alhasil, Premium tak lagi disalurkan ke tiga pulau itu.
Menurut Bhima, potential loss Pertamina bisa membesar. Angkanya terus meningkat lantaran Pertamina menanggung selisih harga minyak mentah acuan dan harga jual Premium. Pada Januari-Februari 2018 saja, Pertamina sudah mengumumkan potential loss sebesar Rp 3,9 triliun.
Kendati demikian, Bhima menilai, keputusan memasok kembali Premium di Jawa, Madura, dan Bali memang diperlukan. Namun pemerintah jangan hanya membebankan biaya besar ke Pertamina. Sebab, keuangan Pertamina berpotensi terganggu bila pemerintah tak kunjung memberikan insentif.
"Pemerintah perlu memberi insentif, misalnya dividen Pertamina tidak disetor ke pemerintah, kemudian ada penangguhan pajak, misalnya," ujar Bhima.
Sebelumnya, pelaksana tugas Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, mengatakan beban Pertamina merupakan persoalan korporasi. Pertamina, ujar dia, fokus memikirkan memenuhi kebutuhan masyarakat. "Karena itu, ditugaskan 10 pengurus Pertamina dan seluruh jajaran Pertamina bagaimana supaya Pertamina dapat menjalankan tugasnya dengan baik," tuturnya.