Seberapa Besar Peluang Ojek Online Diakui sebagai Angkutan Umum?
Reporter
Yohanes Paskalis
Editor
Ali Akhmad Noor Hidayat
Rabu, 2 Mei 2018 07:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat menilai penyusunan revisi UU No 22/2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan itu menjadi cara menyelesaikan polemik aturan transportasi online, termasuk ojek online. Parlemen, dalam hal ini, mendesak agar UU tersebut bisa mencakup pengaturan angkutan umum berbasis aplikasi yang telah umum digunakan masyarakat.
Anggota Komisi Transportasi DPR RI, Alex Indra Lukman mengatakan pihaknya sudah meminta Badan Keahlian Dewan untuk mengkaji ulang UU tersebut. Namun, dia belum membeberkan substansi apa yang akan diubah nantinya. “Karena baru saja kajian. Kita lihat dulu dasarnya, nanti dipaparkan di Komisi V,” ujar Alex pada Tempo, Selasa 1 Mei 2018
Simak: Ojek Online Minta Tarif Naik, YLKI: Masak Lebih Mahal dari Taksi
Parlemen tengah mengupayakan revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009. Revisi aturan pun bisa memperjelas standar pelayanan minimum transportasi online yang belum diatur dalam beleid tersebut. Saat ini angkutan roda empat berbasis aplikasi atau taksi online telah diatur melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Namun, belum ada hukum resmi untuk operasional roda dua atau ojek online.
Menurut Alex, UU terkait angkutan jalan harus mengikuti perkembangan zaman. Transportasi roda dua belum diakui sebagai angkutan umum dalam UU No 22/2009, sementara ojek online kian menjamur di masyarakat perkotaan. “Saya tak tahu kajian ini sampai kapan, tapi UU itu sudah tak sesuai situasi sekarang. Tak ada pengaturan soal transportasi online,” ujarnya.
Alex memastikan pihaknya masih akan memanggil Kemenhub untuk membahas regulasi ojek online. Pertemuan dengan Menhub Budi Karya Sumadi, seharusnya berlangsung pada 25 April lalu, namun tertunda oleh kegiatan kementerian. Pemanggilan, kata Alex, kembali dilakukan di masa sidang V DPR 2017-2018. “Kami pasti panggil lagi setelah reses.”
Adapun Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi, mengatakan kementeriannya belum akan merubah regulasi terkait lalu lintas dan angkutan jalan. “Kami tak punya kajian (mengenai revisi) itu. Kan inisiatif revisi bukan dari Kemenhub,” ujarnya saat dihubungi Tempo.
Pakar Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan penyelesaian polemik ojek online tak memerlukan revisi UU. Operasional ojek online yang dilakukan sejumlah perusahaan aplikasi, seperti Go-Jek dan Grab, menurut dia, bisa diatur melalui kesepakatan dengan pemerintah daerah.
“Dilegalkan secara lokal saja oleh masing-masing pemda (di wilayah operasional ojek online). Bisa diperkuat Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait Tata Cara Mengelola Roda Dua sebagai Angkutan Umum Orang di Daerah,” ujarnya pada Tempo.
Kesepakatan untuk pemerintah dan aplikator itu bisa mencakup pengaturan wilayah dan jam operasional, besaran tarif, kuota, serta jenis roda dua yang diijinkan beroperasi. “Yang seharusnya diubah di UU 22/2009 adalah kewajiban pemda untuk mendukung angkutan umum,” kata Djoko yang juga tergabung dalam forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Ketua Umum Perkumpulan Pengemudi Trasportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI), Igun Wicaksono, mengatakan pihaknya masih akan menagih kejelasan pembuatan payung hukum untuk ojek online. Igun mengaku ikut menemui anggota Komisi Transportasi, sebagai perwakilan pengemudi yang berunjuk rasa di kawasan Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada 23 April lalu. “Kami tunggu terus perkembangannya. Mereka (DPR) janji mengkaji regulasi transportasi roda dua sebagai angkutan umum,” katanya.