Bulog Gandeng BPS Garap Data Produksi Beras Agar Tak Keliru
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 20 Maret 2018 15:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau Perum Bulog menandatangani kesepakatan dengan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait data dan informasi statistik pangan di kantor Perum Bulog, Jakarta Selatan pada Selasa, 20 Maret 2018. Dengan adanya nota kesepahaman tersebut, diharapkan tidak ada lagi data yang keliru terkait produksi beras.
"Kami berharap, dengan adanya nota kesepahaman, Perum Bulog dan BPS dapat saling bersinergi untuk menyediakan data dan informasi yang akurat terkait pangan, terutama produksi beras," ujar Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti saat memberikan sambutan.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, untuk meramal luas panen, pihaknya akan menggunakan motede baru bernama kerangka sample area (KSA). "Dengan menggunakan metode dan teknologi terkini, diharapkan data dan informasi terkait produksi beras lebih akurat dan tepat," kata Suhariyanto.
Suhariyanto mengatakan, dirinya memahami jika Bulog kerap menjadi sasaran kesalahan terkait produksi beras. "Orang kan sering bilang, produksi beras melimpah, kok Bulog tak bisa menyerap. Padahal pas kita di cek di lapangan, memang tidak ada barangnya," kata Suhariyanto.
Baca juga: 10.000 Ton Beras Impor India Tiba di Medan
Untuk itu, lanjut dia, ketersediaan pangan yang tercatat dalam data statistik, harus sesuai atau mencerminkan kondisi di lapangan. "Agar Bulog tak selalu jadi sasaran kesalahan lagi," kata pria yang akrab disapa kecuk itu.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga sempat mengkritik BPS karena data produksi beras Indonesia selama ini dianggap keliru. Kesalahan ini telah dikoreksi JK sekitar dua tahun lalu saat menjadi Wakil Presiden pada periode kedua.
"Itu kesalahan beruntun sejak lama, sejak saya jadi Wapres 2004 sudah bikin kesalahan juga. Kami sudah koreksi," kata JK di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin, 15 Januari 2018.
Seperti diketahui, data produksi dan konsumsi beras saling berbeda antara yang disajikan sejumlah lembaga/kementerian. Data dari Kementan menunjukan tingkat konsumsi mencapai 124 kilogram per kapita per tahun, sementara data BPS adalah 139 kilogram per kapita per tahun, dan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 87,63 kilogram per kapita per tahun. Pada 2015, JK menghitung kebutuhan konsumsi beras dalam negeri melalui eksperimen yang dilakukannya dengan cara memasak.
Dari hasil perhitungannya, dia menemukan bahwa kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia mencapai 114 kilogram per kapita per tahun. Dengan jumlah penduduk mencapai 260 juta, maka kebutuhan konsumsi mencapai 28 juta ton.
Di sisi lain, jumlah produksi beras dalam negeri paling tinggi 30 juta ton. "Tidak pernah ada kita ekspor beras. Produksi kita paling tinggi 30 juta ton beras. Paling tinggi," ujar Kalla. Jumlah produksi beras itu akan turun jika cuaca jelek.
Sejak saat itulah, kata JK, BPS tidak berani lagi membuat publikasi soal produksi beras. "Karena dia tidak bisa jawab pertanyaan saya," kata Kalla. Untuk memperbaiki data, Kalla mengatakan, BPS sudah membuat penelitian ulang soal jumlah produksi beras dalam negeri.