TEMPO Interaktif, Jakarta:Direktur Utama PT Angkasa Pura (AP) II Eddy Haryoto minta agar PT Garuda Indonesia membayar utangnya sebesar Rp 175 miliar. AP II tidak bersedia mengkonversi utang itu menjadi saham karena tidak mau ikut menanggung kerugian Garuda. Apalagi, kata Eddy, saat ini AP II membutuhkan dana untuk membiayai sejumlah proyek, seperti pembangunan terminal III bandara Soekarno Hatta dan Bandara Kualanamu di Medan. “Tapi sejauh ini belum ada kesepakatan soal penyelesaian utang ini,” kata dia di Surabaya, Rabu (15/11).Eddy menjelaskan, konsep utang ini menggunakan model mandatory convertible bond. Artinya utang ini memang memungkinkan untuk dikonversi menjadi saham. Tapi AP II lebih menginginkan utang itu dibayar. "Sebab bila dikonversi tidak menguntungkan kami," ujarnya.Sekalipun nantinya Garuda menawarkan saham perdana, Eddy khawatir harga saham Garuda akan ditawar di bawah harga pasar. Sebab kinerjanya belum membaik. Karena itu, Garuda sebaiknya melakukan strategic partner dengan maskapai lain atau mencari investor baru.Namun Direktur Keuangan Garuda Indonesia Alex Maneklaran sebelumnya mengatakan, utang Garuda kepada dua perusahaan pengelola bandar udara, yaitu AP I dan AP II sebesar Rp 297 miliar telah dikonversi menjadi saham. Sehingga saham AP I sebesar 1,5 persen dan AP II 2,47 persen. “Konversi itu dilakukan sejak 2 November lalu,” kata Alex. Tapi menurut Direktur Keuangan PT Angkasa Pura I Laurensius Manurung, konversi utang itu baru sebatas pengajuan Garuda. "Kami juga belum menyetujuinya,” kata dia. Bahkan konversi itu dikahwatirkan akan mengganggu target laba AP I tahun ini sebesar Rp 434 miliar.Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar mengatakan, Garuda akan menyelesaikan restrukturisasi utang US$ 500 juta kepada krediturnya, European Export Credit Agency (ECA) akhir tahun ini. Pembicaraan dengan ECA akan dilakukan minggu ini dan proposal negoisasi tetang opsi yang ditawarkan akan disampaikan akhir bulan ini. Saat ini Garuda memiliki utang US$ 794 juta atau sekitar Rp 7,3 triliun ke sejumlah kreditur dalam dan luar negeri. Anton Aprianto