Sepatu wanita hasil produksi industri rumahan di daerah Ciomas, Bogor, Jawa Barat, 7 Agustus 2015. Menurut Kholik sang pemilik, omzet pabrik sepatu di tempatnya tahun ini menurun hingga 50 persen karena sepinya pemesan. Produk industri rumahan semakin sulit bersaing dengan sepatu impor dari cina karena harganya jauh lebih murah. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah mengakui besarnya volume impor yang dilakukan Indonesia menjadi salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi di dalam negeri.
Ari Dwipayana, anggota Tim Komunikasi Presiden, mengatakan Presiden Joko Widodo menekankan bahwa impor Indonesia tidak hanya dilakukan untuk barang elektronik. Saat ini, Indonesia juga masih kebanjiran produk sayur dan buah dari luar negeri.
“Presiden menyebut barang-barang impor itu tidak melulu barang elektronik, tapi juga tidak sedikit sayuran yang masih perlu diimpor, seperti jagung, bawang merah, gula, dan garam,” katanya, Selasa, 15 September 2015.
Ari menuturkan pemerintah saat ini berupaya mengembangkan ekonomi yang berbasiskan produksi. Dengan cara tersebut diharapkan Indonesia dapat mengurangi impor produk-produk tertentu karena sudah bisa diproduksi di dalam negeri.
Menurut dia, Presiden juga telah memerintahkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk meningkatkan produksi beras, kedelai, dan jagung dalam tiga tahun.
Selain itu, Presiden memerintahkan peningkatan produksi gula dalam lima tahun serta menyiapkan peningkatan produksi daging di dalam negeri. “Presiden menekankan yang kami kejar saat ini adalah substitusi dari barang impor,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Ari juga menyampaikan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini masih lebih baik dibanding pelemahan nilai tukar mata uang beberapa negara.
“Dolar Amerika Serikat saat ini memang berada level 14 ribu, tapi Presiden mengingatkan saat ini masih lebih baik, karena pada 1998 dolar Amerika Serikat melonjak dari 1.800 menjadi 15 ribu,” ucapnya.