KERETA CEPAT: Studi Kelayakan Siapa Paling Unggul? (Bag. 2)
Editor
Anton Septian
Sabtu, 15 Agustus 2015 10:05 WIB
Sedangkan Jepang, berdasarkan ringkasan dokumen studi kelayakan Japan International Cooperation Agency (JICA), baru memulai konstruksi proyek pada tahun depan. Selanjutnya, pada 2019, kereta cepat diuji coba, dan baru pada 2021 beroperasi penuh. Kecepatan pembangunan yang ditawarkan Cina ini mengundang keraguan JICA. "Saya bertanya-tanya, bagaimana Cina bisa memulai konstruksi pada September tahun ini?" ujar Senior Representative Indonesia JICA Hiromichi Muraoka.
Ihwal biaya pembangunan, nilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung versi studi kelayakan Jepang mencapai Rp 60,79 triliun. Negeri Sakura akan membiayai 75 persen proyek dengan pinjaman bertenor 40 tahun dengan grace period 10 tahun dan bunga 0,1 persen per tahun.
Duit itu akan dikucurkan ke badan usaha milik negara yang ditunjuk atau dibentuk Indonesia untuk mengerjakan konstruksi itu. Adapun pemerintah Indonesia kebagian jatah membiayai pembebasan lahan, layanan teknis, manajemen, dan pajak sebesar 16 persen dari nilai proyek. Sisanya ditanggung perusahaan yang dibentuk khusus (special purpose vehicle) untuk mengoperasikan kereta cepat.
Menurut Deputi Menteri Koordinator Perkonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Lucky Eko Wuryanto, Kementerian sudah memilih tiga dari sebelas konsultan independen yang diundang sebagai calon penilai proposal Cina dan Jepang. “Tiga konsultan ini nanti akan kami serahkan ke Menteri yang baru untuk dipilih satu," ujar Lucky. Hasil kajian konsultan independen itulah yang menjadi bahan pertimbangan bagi Presiden Joko Widodo untuk memutuskan tawaran mana yang diambil: Jepang atau Cina.
KHAIRUL ANAM | ALI HIDAYAT