Sebuah truk pengangkut bahan galian melintas di lahan yang akan dijadikan lokasi smelter minerba PT Bintan Alumina Indonesia di Galang Batang, Bintan, Kepri (6/3). Smelter yang dibangun PMA dengan total nilai investasi lima miliar dolar US atau sekitar Rp. 50 triliun tersebut ditargetkan rampung pada 2020 dan mampu menampung atau menghasilkan 2,1 juta ton alumina per tahun. ANTARA/Henky Mohari
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komite Tetap Mineral Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Poltak Sitanggang menyatakan kebijakan hilirisasi telah mengakibatkan perusahaan tambang merumahkan pekerjanya. Hal itu terjadi karena perusahaan tambang tak sanggup menanggung beban akibat terbitnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
"Ada 10 juta orang kehilangan pekerjaan pasca-penerapan aturan itu," kata Poltak di dalam diskusi di gedung Kadin, Jakarta Selatan, Jumat, 29 Agustus 2014. (Baca: Rakor Minerba, Menteri Chatib Tak Tahu Isi Rapat)
Untuk itu, Poltak berharap pada seratus hari pertama dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pemerintahan baru bisa mengkaji ulang peraturan tersebut. Alasannya, selain menyebabkan banyak orang yang kehilangan pekerjaan, UU itu juga menghambat optimalisasi tata kelola industri pertambangan.
Poltak mengatakan Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan Kadin pun memberikan rekomendasi untuk pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla setelah dilantik pada 20 Oktober 2014 nanti. Antara lain, menuntaskan renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, mengendalikan ekspor bijih mineral, khususnya nikel, bauksit, tembaga, dan mangan. (Baca: Freeport Merayu Minerba, Pemerintah Menolak).
Pemerintahan yang akan datang harus terus berkoordinasi dengan bupati, gubernur, polisi, dan TNI untuk membahas illegal mining. Koordinasi dengan berbagai lembaga pemerintah lainnya untuk memfasilitasi perizinan pendirian pabrik pengolahan mineral agar pembangunan segera dapat dilaksanakan pada awal 2015 pun perlu dilakukan.