Pos Jaga Indonesia-Timor Leste Rawan Penyelundupan
Editor
Rr. Ariyani Yakti Widyastuti
Senin, 26 Mei 2014 06:45 WIB
TEMPO.CO , Atapupu: Pos jaga lalu lintas arus barang dan orang di Mota’ain, yang merupakan pintu perbatasan Indonesia-Timor Leste cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, sarana dan prasarana pos pemeriksaan bea dan cukai yang terbatas menyebabkan cukup rentannya masuk atau keluar arus barang ilegal.
“Jika jam sibuk, mobil travel datang bawa penumpang banyak dan kendaraan yang akan ekspor harus kami data. Ada saja orang nyelonong kalau kita lengah,” ujar Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Pratama Atapupu, I Nyoman Ary Dharma pada Tempo, di pos Mota’ain, Atapupu, Nusa Tenggara Timur, Kamis malam, 23 Mei 2014.
Ia menuding tidak satu atapnya sistem pelayanan bea cukai, imigrasi, dan karantina yang memicu masalah dalam proses pendataan arus barang dan orang yang melewati kawasan perbatasan. (Baca: BBM Subsidi di Timor Leste Laku Rp 10-15 Ribu)
Padahal, pos penjagaan Mota’ain merupakan satu dari total sembilan pos di seluruh perbatasan Indonesia-Timor Leste yang cukup sibuk. “Karena ini jalur utama. Tapi alur masuk dan keluar tidak jelas. Seharusnya Customs-Imigration-Quarantine satu atap,” ujar Ary. (Baca: Selasa-Jumat, Hari 'Bebas Sapi' di Perbatasan)
KPPBC Tipe Pratama Atapupu mempunyai wilayah kerja dan wilayah pengawasan meliputi empat Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yakni Kabupaten Belu, Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Malaka, dan Kabupaten Alor.
Ada sembilan pos perbatasan yang sudah disepakati dengan negara Timor Leste, yaitu Kantor Bantu Bea Cukai Mota'ain, Metamauk, Wini, Napan, Kalabahi. Empat lainnya adalah Pos Pengawasan Bea Cukai Turiskain, Builalo, Latutus, dan Haumeniana. “Dari sembilan kantor bantu dan pos pengawasan tersebut, baru empat yang aktif beroperasi yaitu Mota'ain, Metamauk, Wini, dan Napan,” kata Ary.
Dari empat pos yang aktif, Tempo dan beberapa media lainnya berkesempatan untuk berkunjung ke pos Mota’ain, Metamauk, dan Wini. Kondisi pos jaga di Wini misalnya, antara kantor bea cukai, imigrasi, dan karantina terpisah-pisah.
Kendaraan atau orang yang ingin melintas ke Distrik Oecusse, Timor Leste, harus terlebih dahulu ke kantor imigrasi yang tepat berada di perbatasan. Setelah selesai mengurus dokumen, pelintas harus kembali lagi ke kantor bea cukai dengan jarak sekitar 1 kilometer.
<!--more-->
Kondisi berbeda dengan pos perbatasan Timor Leste yang semua gedungnya cukup mewah. Di semua pos jaga perbatasan, pemeriksaan sudah dilakukan satu atap sehingga arus barang atau orang dapat terpantau dan durasi waktu yang dibutuhkan sebentar. Selain itu, fasilitas x-ray dan kamera tersembunyi juga terpasang di hampir setiap sudut.
“Kami dari Bea Cukai mana ada x-ray atau CCTV. Semuanya dikerjakan secara manual. Bahkan satu kapal Patroli saja rusak sudah lama, sehingga kami tidak bisa memantau pergerakan di Laut,” kata Ary. (Baca: Begini Modus Penyelundupan BBM ke Timor Leste)
Selain keterbatasan sarana dan pra sarana, sumber daya manusia pun sangat kurang. Menurut Ary, untuk seluruh pos jaga di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste, hanya ada 21 petugas Bea dan Cukai. Masing-masing pos hanya dijaga oleh dua orang. “Di Mota’ain yang paling sibuk, hanya empat orang. Sedangkan Timor Leste penjaganya bisa sampai 21 orang,” kata Ary.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Susiwijono Moegiarso, mengatakan pemerintah harus segera mempersiapkan sarana dan pra sarana yang cukup baik agar pos perlintasan arus barang dan orang di perbatasan tertata. (Baca: Dolar AS Alat Pembayaran di Batas Timor Leste)
Jika hal itu tidak dipersiapkan sedini mungkin, maka akan banyak masalah setelah aktifitas ekonomi antar dua negara tinggi. “Pengalaman kami di Entikong seperti itu. Mumpung aktiftasnya tidak terlalu besar, seharusnya segera dipersiapkan,” ujar Susiwijono.
Aktifitas perdagangan antara Indonesia dan Timur Leste memang tidak terlalu tinggi, hanya seputar bahan makanan pokok, bahan kontruksi bangunan, dan sebagian alat berat yang diekspor dari Indonesia. Dalam satu bulan, nilai devisa ekspor hanya mencapai US$ 800 ribu.
Sedangkan bea masuk impor hanya tercatat Rp 25 juta dalam satu tahun. “Tapi kalau berbicara maslaah di perbatasan, tidak hanya sekedar menilai dari sisi beban kerja, tapi juga bagaimana wajah halaman kita di batas negara,” kata Susiwjono.
ANGGA SUKMA WIJAYA
Berita terpopuler:
BBM Subsidi di Timor Leste Laku Rp 10-15 Ribu
Selasa-Jumat, Hari 'Bebas Sapi' di Perbatasan
Bulan Depan, AirAsia Tutup Empat Rute Penerbangan