TEMPO.CO, Jakarta - Pelaku industri baja menyatakan kesulitan mendapat salah satu bahan baku baja, yaitu besi bekas (ferro scrab). Kesulitan ini karena Kementerian Lingkungan Hidup menganggap besi bekas masuk dalam limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun.
"Banyak impor ferro scrub yang masih tertahan di pelabuhan-pelabuhan karena persyaratan yang rumit untuk mengeluarkannya," kata juru bicara PT Gunung Gahapi di Jakarta, 5 Mei 2015.
Ketut menambahkan, sebenarnya di beberapa negara penghasil besi baja, ferro scrab tidak masuk dalam limbah B3. "Secara internasional, ferro scrub sebenarnya juga tidak termasuk dalam limbah B3, hanya Indonesia yang menerapkan itu," katanya.
Atas kesulitan itu, dia meminta kepada Kementerian Perindustrian berdialog dengan Kementerian Lingkungan Hidup membicarakan masalah ini. Kesulitan ini membuat sebagian besar produsen baja lebih memilih untuk mengimpor baja kasar (billet). Namun harga impor billet dianggap lebih mahal dibanding dengan impor besi bekas.
Dirjen Bina Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian Harjanto menyatakan akan membicarakan masalah ini dengan Kementerian Lingkungan Hidup. "Prinsipnya, industri jangan sampai mencemari lingkungan. Sebaliknya, aturan tentang lingkungan hidup jangan membatasi pertumbuhan industri," ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri baja nasional tumbuh dengan pesat. Tahun 2013, pertumbuhan di atas 10 persen. Kebutuhan baja di dalam negeri berkisar 12 juta ton, tapi produksi dalam negeri total hanya 6 juta ton.
Jika dilihat dari konsumsi baja per kapita, konsumsi baja di Indonesia diperkirakan baru 40 juta ton. Diharapkan tahun 2020 konsumsi baja nasional bisa mencapai 70 kilogram per kapita. Sedangkan konsumsi baja per kapita di negara maju mencapai 600 kilogram. "Betapa jauhnya gap kita dengan negara maju," kata Harjanto.