Seorang model berdiri disamping mobil Daihatsu DR Estate dalam pameran Indonesia International Motor Show (IIMS), di Jiexpo Kemayoran, Jakarta (19/9). Dalam pameran ini hampir semua Agen Tunggal Pemegang Merek menawarkan mobil murah ramah lingkungan atau Low Cost Green Car (LCGC). TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Penjualan mobil murah ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) diperkirakan akan tetap diminati konsumen meski ada larangan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. "Mungkin akan ada dampaknya, tapi kita berharap tak akan terlalu besar," kata Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Jongki Sugiharto kepada Tempo, Senin, 28 April 2014.
Menurut dia, jika mobil murah menggunakan bahan bakar nonsubsidi, diperkirakan akan ada peningkatan biaya operasional. Sebab, harga jual bahan bakar nonsubsidi lebih mahal dibandingkan bersubsidi. (Baca: Pemerintah Disarankan Cabut Kebijakan Mobil Murah)
Jongki mengatakan harga LCGC sekitar Rp 100 jutaan bersaing dengan mobil bekas yang masih boleh menggunakan bahan bakar nonsubsidi. "Konsumen berpikir, mending beli bekas saja karena masih bisa isi dengan BBM subsidi."
Namun pertimbangan semacam ini dianggap Jongki tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, mobil baru biasanya sudah dibekali teknologi terbaru untuk menghemat bahan bakar. "Belum tentu mobil lawas 1.300 cc lebih hemat dibanding mobil 3.000 cc keluaran baru," kata Jongki. (Baca: Dapat Insentif Besar, LCGC Tak Boleh Pakai Premium)
Yang paling penting bagi produsen mobil, kata dia, adalah mengedukasi konsumen soal teknologi irit bahan bakar pada mobil terbaru. Gaikindo menargetkan penjualan mobil LCGC sekitar 125 ribu unit per tahun. Sedangkan untuk penjualan dari Oktober 2013 sampai Maret kemarin, Gaikindo mengklaim sudah berhasil menjual 80 ribu unit LCGC.
Inginkan Power Wheeling Tetap Dipertahankan di RUU EBT, Anggota DPR: Ada Jalan Tengah dengan Pemerintah
6 Februari 2023
Inginkan Power Wheeling Tetap Dipertahankan di RUU EBT, Anggota DPR: Ada Jalan Tengah dengan Pemerintah
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menginginkan skema power wheeling tetap dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Enerbi Baru dan Terbarukan atau RUU EBT.