BRIC atau MINT? Investor Bingung dengan Akronim  

Reporter

Editor

Abdul Malik

Selasa, 21 Januari 2014 10:02 WIB

Menko Perekonomian Hatta Rajasa bersama Menteri Perdagangan luar Negeri Prancis Nicole Bricq (kiri), seusai melakukan pertemuan bilateral antar kedua negara, di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta (5/6). TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.CO, London - Akhir-akhir ini mulai banyak dibicarakan akronim baru di kalangan ekonom. Setelah akronim BRIC, yakni singkatan Brazil, Russia, India, dan Cina; kini muncul MINT, yakni Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turkey. Ada juga akronim CIVETS, yakni singkatan dari Kolombia (Colombia), Indonesia, Vietnam, Mesir (Egypt), dan Afrika Selatan (South Africa).

Di mana investasi akan ditempatkan? Bagi para manajer investasi akan semakin bingung dengan banyaknya akronim. Mantan ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill adalah pencetus ide akronim BRIC pada 2001. Negara-negara BRIC, MINT maupun CIVETS menikmati pertumbuhan ekonomi cukup tinggi beberapa waktu terakhir. Namun, tidak dijamin kondisi itu seiring dengan kenaikan perolehan investasi. Selain itu, kinerja pasar modal lokal yang melemah membuat para manajer investasi mulai meninggalkan penggunaan akronim-akronim itu.

Seperti dirilis Reuters 21 Januari 2014, aset kelolaan di kawasan BRIC anjlok menjadi 9 miliar euro akhir tahun lalu dari sebelumnya 21 miliar euro di 2010. Menurut data yang dilansir Lipper (anak usaha Thomson Reuters yang menyediakan data investasi dan rating), aset kelolaan dalam bentuk ekuitas di luar negara berkembang justru naik dalam periode yang sama. Goldman Sachs sendiri kehilangan kelolaan aset dari negara-negara BRIC sebesar 20 persen dalam tiga tahun terakhir.

Lagi, O’Neill telah meluncurkan akronim baru. Dalam serial Radio BBC bulan ini, dia menobatkan kelompok MINT, yakni Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki adalah negara raksasa masa depan setelah BRIC. O’Neill menekankan bahwa kelompok negara MINT adalah negara ekonomi, bukan sebuah investasi. Artinya, konsep dan eksplorasi yang dia lakukan lebih pada mengkaji soal masalah dan potensi negara-negara tersebut.

Meski begitu, daya tarik akronim untuk investasi saat ini dinilai mulai memudar. Beberapa manajer investasi menyatakan pengelompokan negara tidak lagi diperhitungkan sebagai bentuk kemajuan pembangunan suatu negara atau analisis soal risiko negara yang menjanjikan. Pengelompokan negara juga sering dianggap mengecewakan. Sebab, kinerja perusahaan terbuka di negara-negara yang dikelompokkan tersebut menjadi target investasi utama para investor asing, tetapi kemudian kinerjanya mengecewakan juga.

Waktu peluncuran akronim O’Neill dinilai tidak ideal. Saat ini Turki sedang dilanda kisruh terkait investasi soal korupsi menyusul protes warganya musim panas lalu. Sedangkan situasi politik Nigeria masih rusuh menjelang pelaksanaan pemilu tahun depan. Indonesia yang mencatatkan defisit neraca pembayaran cukup besar sedang mengalami arus modal keluar.

“Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki semuanya adalah negara yang menarik buat investasi. Namun, tidak terlalu berhubungan dengan akronim itu,” ujar Kepala Ekonom JP Morgan Asset Management, Richard Titherington. Dia lebih sepakat jika pengelompokan negara berdasarkan konsep pasar di mana perusahaan-perusahaan di negara menawarkan imbal hasil dividen tertinggi.

Investor di negara-negara BRIC sudah mulai memahami bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak selaras dengan keuntungan yang diraih di pasar modal. Beberapa analis mempermasalahkan soal tata kelola perusahaan di negara seperti Rusia dan Cina. Negara-negara BRIC faktanya kinerjanya tidak terlalu baik di indeks MSCI untuk saham berbentuk dolar AS dalam tiga tahun terakhir. Faktanya, kinerja pasar sagam di negara berkembang jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara maju.

ABDUL MALIK

Terpopuler :


Cuaca Ekstrem, Stok Premium Aman Cuma 17 Hari
Menteri Chatib Janji Dana Bencana Gampang Cair
Cara BPK Lacak Permainan Dana Bansos
Ekspor Dilarang, Investasi Smelter Capai Rp 150 Triliun
PLN Padamkan 479 Gardu Akibat Banjir

Berita terkait

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

6 hari lalu

BI Catat Rp 2,47 T Modal Asing Tinggalkan RI Pekan Ini

BI mencatat aliran modal asing yang keluar pada pekan keempat April 2024 sebesar Rp 2,47 triliun.

Baca Selengkapnya

Hari Ini IHSG Diperkirakan Menguat, Saham Apa Saja yang Potensial Dilirik?

11 hari lalu

Hari Ini IHSG Diperkirakan Menguat, Saham Apa Saja yang Potensial Dilirik?

Analis PT Reliance Sekuritas Indonesia Reza Priyambada memperkirakan IHSG pada awal pekan ini menguat bila dibandingkan pekan lalu. Apa syaratnya?

Baca Selengkapnya

Senin Depan, BEI Terapkan Full Call Auction di Papan Pemantauan Khusus

43 hari lalu

Senin Depan, BEI Terapkan Full Call Auction di Papan Pemantauan Khusus

BEI akan menerapkan mekanisme perdagangan lelang berkala secara penuh atau full call auction di Papan Pemantauan Khusus pada Senin pekan depan.

Baca Selengkapnya

Pekan Keempat Februari, Aliran Modal Asing Masuk Rp 1,01 Triliun

25 Februari 2024

Pekan Keempat Februari, Aliran Modal Asing Masuk Rp 1,01 Triliun

Aliran modal asing tetap surplus kendati ada penjualan Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), karena jumlah modal masuk ke pasar saham jauh lebih besar.

Baca Selengkapnya

Microsoft Salip Apple di Pasar Saham dengan Keunggulan AI

30 Januari 2024

Microsoft Salip Apple di Pasar Saham dengan Keunggulan AI

Para investor sepakat bahwa Microsoft berkembang jauh lebih signifikan dibanding Apple, bahkan untuk lima tahun ke depan.

Baca Selengkapnya

Israel Selidiki Investor Untung Jutaan Dollar karena Sudah Antisipasi Serangan Hamas 7 Oktober

5 Desember 2023

Israel Selidiki Investor Untung Jutaan Dollar karena Sudah Antisipasi Serangan Hamas 7 Oktober

Israel sedang menyelidiki klaim peneliti AS bahwa beberapa investor mungkin telah mengetahui sebelumnya tentang rencana serangan Hamas

Baca Selengkapnya

Potensi Bursa Karbon Cukup Besar, Bos OJK: 71,95 Persen Karbon Masih Belum Terjual

4 Desember 2023

Potensi Bursa Karbon Cukup Besar, Bos OJK: 71,95 Persen Karbon Masih Belum Terjual

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi menjelaskan bahwa ke depan potensi bursa karbon masih cukup besar.

Baca Selengkapnya

BEI Ungkap Penyebab Sepinya Bursa Karbon Dibandingkan dengan Bursa Saham

30 November 2023

BEI Ungkap Penyebab Sepinya Bursa Karbon Dibandingkan dengan Bursa Saham

Dari sisi transaksi bursa karbon tercatat sudah ada lebih dari 490 ribu ton dengan nilai harga jual karbon terakhir senilai Rp 59.200.

Baca Selengkapnya

2024, BEI Bidik Nilai Transaksi Harian Rp 12,25 Triliun

26 Oktober 2023

2024, BEI Bidik Nilai Transaksi Harian Rp 12,25 Triliun

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) membidik rata-rata nilai transaksi harian (RNTH) pada tahun 2024 sebesar Rp 12,25 triliun pada tahun 2024.

Baca Selengkapnya

Transaksi Harian Jeblok 29 Persen, BEI: Ada Shifting Investasi dengan New Normal

7 Oktober 2023

Transaksi Harian Jeblok 29 Persen, BEI: Ada Shifting Investasi dengan New Normal

Bursa Efek Indonesia (BEI) membeberkan alasan nilai transaksi harian di pasar modal Indonesia yang jeblok dibandingkan tahun lalu.

Baca Selengkapnya