Seorang pengunjung menikmati hidangan yang disajikan di pesawat Boeing B777-300ER milik Garuda Indonesia, Bandara Soekarno Hatta, Tangerang (31/7). Pesawat ini dilengkapi fasilitas Chef on Board untuk memanjakan penumpangnya. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
TEMPO.CO, Jakarta - Jumlah tambahan biaya penerbangan atau surcharge sebesar Rp 50 ribu per jam pertama akibat kenaikan harga bahan bakar avtur dan pelemahan rupiah dianggap tidak masuk akal. Anggapan itu diungkapkan oleh pengamat penerbangan Gerry Soejatman ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 4 Januari 2014. "Saya rasa Rp 50 ribu itu enggak masuk akal, itu enggak menyelesaikan masalah."
Sebelumnya, Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan Djoko Murdjatmojo menyarankan agar maskapai melakukan efisiensi pada semua aspek dalam menghadapi situasi ini. Tanpa ada saran itu, menurut Gerry, dengan sendirinya maskapai telah melakukan efisiensi. Namun, tetap akan ada masalah bagi maskapai full services, misalnya Garuda Indonesia. Maskapai pelat merah itu tetap akan kewalahan mengatur efisiensi berdasarkan persentase yang berbeda dengan maskapai berbiaya murah atau low-cost carrier (LCC).
Gerry mencontohkan, maskapai full service menghabiskan biaya sebesar US$ 50 per kursi per jam. Sedangkan LCC hanya US$ 45 per jam per kursi. Perbedaan itu menunjukkan maskapai full services akan diberatkan dengan jumlah surcharge yang hanya Rp 50 ribu per jam pertama. "Pricing policy-nya harus diubah. Tarif batas yang sekarang sudah ketinggalan," katanya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti mengatakan akan mengajukan surcharge Rp 50 ribu per jam pertama penerbangan. "Surcharge, menteri sudah setuju. Kira-kira Rp 50 ribu akan diajukan ke menteri," kata Herry pada Jumat, 3 Januari 2014. Herry menuturkan keputusan perihal surcharge akan diumumkan pada awal Januari 2014. Sementara Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengajukan tambahan biaya sebesar Rp 75 ribu sampai Rp 85 ribu per jam pertama.