TEMPO.CO, Palembang - Deputi Sekretaris Jenderal Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Rintaro Tamaki, menyarankan agar pemerintah Indonesia segera mencari sumber pembiayaan jangka panjang untuk membiayai infrastruktur. Salah satunya adalah dana pensiun global, yang nilainya kini tak kurang dari US$ 85 triliun.
“Kita mesti mencari alternatif sumber pembiayaan selain bank,” kata Tamaki di sela seminar Forum Indonesia-OECD bertajuk “Enhancing the Role of Institutional Investors in Infrastructure Financing” di Palembang, Kamis, 29 Agustus 2013.
Pembiayaan selain bank dibutuhkan karena kebutuhan dana pengembangan infrastruktur di seluruh dunia cukup tinggi, sekitar US$ 3 triliun. Dari angka tersebut, negara-negara dunia maju hanya mampu menyediakan dana tidak lebih dari US$ 1 triliun. “Ini salah satu yang menghambat pembenahan infrastruktur,” katanya.
Pemerintah mencatat alokasi dana investasi di sektor infrastruktur per tahun 5-7 persen dari produk domestik bruto yang mencapai Rp 10 triliun. Jumlah ini sangat terbatas dibanding tingginya kebutuhan dana infrastruktur. “Sisanya harus kita cari lewat perbankan dan sumber investasi jangka panjang,” kata Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar.
Karena itu, ia berharap forum yang digelar dalam rangka pertemuan pimpinan negara-negara anggota APEC pada Oktober mendatang bisa mendorong terciptanya solusi pembiayaan infrastruktur. Seminar ini dihadiri tidak kurang dari 120 peserta dari ahli keuangan, akademisi, serta pejabat negara-negara di kawasan Asia-Pasifik.
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), merugikan kaum buruh.