DPR Kecam Keluarnya Perpu Tambang

Reporter

Editor

Jumat, 12 Maret 2004 19:26 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) nomor 1/2004 tentang Tambang. Pasalnya, keluarnya Perpu berdasarkan sidang kabinet, Kamis (11/3), tanpa didahului persetujuan anggota dewan. "Perpu diterbitkan karena keadaan mendesak dan genting. Sekarang, seberapa jauh keadaan terpaksanya?" kata Ketua Sub Komisi Lingkungan Hidup Komisi VIII DPR, Muhammad Askin kepada TNR lewat sambungan telepon, Jumat (12/3).Pertanyaan serupa juga diajukan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Longgena Ginting. Menurut Longgena, keluarnya Perpu lebih kepada tindakan pemerintah sebagai jalan pintas mengatasi kemelut di antara dua departemen dalam dua tahun belakangan ini: Departemen Kehutanan dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. "Keputusan itu sengaja dilakukan, agar secara politis pertikaian dua departemen itu tidak berlarut-larut. Tapi justru terkesan terburu-buru, karena tanpa persetujuan DPR terlebih dulu," kata Longgena. Saat ini memang, anggota dewan masih membahas beberapa pasal di dalam Undang Undang nomor 41/1999 tentang Kehutanan, terkait dengan pengalihan fungsi hutan. Sebut saja pasal 38 yang mengatakan, penambangan terbuka di hutan lindung tidak diperbolehkan. Padahal di pasal lain dikatakan, pengalihan fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi harus diatur pemerintah dan DPR. Ulah pemerintah yang terkesan terburu-buru mengeluarkan Perpu, memberikan izin kepada 13 perusahaan tambang melanjutkan penambangan di areal kawasan hutan lindung itu, tentu saja membuat anggota dewan geram. Selain belum mendapatkan persetujuan dewan, Perpu juga dinilai belum melewati kajian pemanfaatan hutan lindung sesuai peruntukan. "Kajian awal mutlak diperlukan sebelum Perpu keluar," kata Askin. Menurut Askin, sikap pemerintah memberikan izin kepada 13 perusahaan tambang untuk menambah pemasukan negara, sangat bisa dipahami sebagai upaya yang bukan merupakan keniscayaan pembangunan. Tapi, pembangunan berkelanjutan tidak boleh mengabaikan undang-undang yang sudah ada, dalam hal ini tetap harus berdasarkan UU Kehutanan itu. "Sikap pemerintah yang hantam kromo menunjukkan sikap tidak proporsional. Pemerintah sudah menyalahgunaan kekuasaannya untuk mengeluarkan Perpu itu," kata Asikin.Dari sisi lingkungan, kata Loggena, keluarnya Perpu menunjukkan tidak konsistennya sikap pemerintah terhadap komitmen global terkait dengan Konvensi Perlindungan Keanekaragaman Hayati. "Indonesia dan negara lain sepakat mengurangi laju kerusakan keanekaragaman hayati pada 2010," katanya. Tapi ternyata, Indonesia justru memberikan konsesi bagi perusahaan tambang untuk mengeksplorasi 11,4 juta hektar kawasan konservasi hutan lindung yang cukup banyak berada di pulau-pulau kecil, seperti Pulau Gag di Kepulauan Raja Empat, Papua. Apalagi di Pulau Gag, penambangan nikel banyak dilakukan dengan menggunakan teknologi tidak ramah lingkungan: membuang limbah penambangan ke laut. "Tempat keanekaragaman laut, terutama karang, tertinggi di dunia itu semakin lama akan hancur," kata Longgena. Dari sisi sosial, Perpu juga dinilai akan berdampak merugikan masyarakat. Salah satu dari 13 perusahaan yang memperoleh izin itu, seperti Perusahaan Nusa Halmahera Mineral, kata Longgena, akan memperparah konflik antara masyarakat Kao dan Maluvit di Maluku Utara. Padahal, konflik itu sudah menelan korban tewas. Lebih parahnya, kata Loggena, komitmen Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dan Presiden Megawati Soekarnoputri secara investasi adalah nol. "Penambangan di areal hutan lindung hanya mengejar target masa kabinet berakhir. Padahal kedepannya, masyarakat sendiri akan menanggung beban biaya dan akibat hancurnya lingkungan," katanya. Walau demikian, Perpu sudah keluar. Ke-13 perusahaan tambang yang diberi izin itu pun pasti sudah tidak sabar merealisasikan aturan itu. Perusahaan-perusahaan itu pasti tidak akan menunggu lebih lama lagi untuk melahap areal konservasi yang sudah dikonversi menjadi areal pertambangan itu. Masih adakah langkah penyelamatan itu? Askin sendiri mengaku masih optimis. Karena Komisi VIII akan membawa persoalan ini ke pimpinan dewan untuk dibicarakan secara khusus. Bila pimpinan dewan sepakat soal surat persetujuan, pemerintah harus membuat surat persetujuan itu. Selanjutnya, jika surat persetujuan sudah dibuat, dewan tinggal menerima atau menolaknya. "Kalau DPR menerima, Perpu itu bisa dilanjutkan. Tapi, kalau DPR menolak, Perpu itu bisa dicabut," kata Askin Istiqomatul Hayati - Tempo News Room

Berita terkait

Harga Produk Pertambangan Masih Fluktuatif

56 menit lalu

Harga Produk Pertambangan Masih Fluktuatif

Harga komoditas produk pertambangan yang dikenakan bea keluar fluktuatif, konsentrat tembaga dan seng masih naik pada periode Mei 2024.

Baca Selengkapnya

Bahlil Beri Sinyal Ormas Bisa Kelola Izin Tambang, Aspebindo: Modal untuk Mandiri

12 jam lalu

Bahlil Beri Sinyal Ormas Bisa Kelola Izin Tambang, Aspebindo: Modal untuk Mandiri

Aspebindo mendukung rencana pemerintah membagikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan. Apa alasannya?

Baca Selengkapnya

Rektor UPN Veteran Yogyakarta: Jumlah Pendaftar Prodi Teknik Pertambangan Naik 3 Kali Lipat

2 hari lalu

Rektor UPN Veteran Yogyakarta: Jumlah Pendaftar Prodi Teknik Pertambangan Naik 3 Kali Lipat

Rektor UPN Veteran Yogyakarta Irhas Effendi menyebut ada fenomena cukup menarik dari para peserta UTBK SNBT 2024 di kampusnya.

Baca Selengkapnya

LPDP Buka Beasiswa Prioritas ke NEU, CSU dan UST untuk Bidang Pertambangan

5 hari lalu

LPDP Buka Beasiswa Prioritas ke NEU, CSU dan UST untuk Bidang Pertambangan

Tujuan beasiswa LPDP ini untuk mencetak tenaga kerja untuk memenuhi program hilirisasi industri berbasis tambang mineral di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Hari Bumi dan Hari Kartini, Petani Kendeng Ungkit Kerusakan Karst yang Memicu Banjir

7 hari lalu

Hari Bumi dan Hari Kartini, Petani Kendeng Ungkit Kerusakan Karst yang Memicu Banjir

Kelompak masyarakat peduli Pegunungan Kendeng memgangkat isu kerusakan lingkungan pada Hari Bumi dan Hari Kartini/

Baca Selengkapnya

10 Perusahaan Timah Terbesar di Dunia, Ada PT Timah

9 hari lalu

10 Perusahaan Timah Terbesar di Dunia, Ada PT Timah

Berikut ini deretan perusahaan timah terbesar di dunia berdasarkan jumlah produksinya pada 2023, didominasi oleh pabrik Cina.

Baca Selengkapnya

JATAM Laporkan Menteri Investasi Bahlil ke KPK, Ini Sebabnya

26 hari lalu

JATAM Laporkan Menteri Investasi Bahlil ke KPK, Ini Sebabnya

Jaringan Advokasi Tambang melaporkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, apa penyebabnya?

Baca Selengkapnya

Korupsi Timah: Aturan Rujukan Penghitungan Kerugian Negara Rp 271 Triliun

27 hari lalu

Korupsi Timah: Aturan Rujukan Penghitungan Kerugian Negara Rp 271 Triliun

Kasus dugaan korupsi di PT Timah, yang melibatkan 16 tersangka, diduga merugikan negara sampai Rp271 triliun. Terbesar akibat kerusakan lingkungan.

Baca Selengkapnya

Ramai soal Korupsi Timah Rp 271 Triliun, Begini Fluktuasi Saham TINS dan Analisisnya

27 hari lalu

Ramai soal Korupsi Timah Rp 271 Triliun, Begini Fluktuasi Saham TINS dan Analisisnya

Pergerakan saham PT Timah Tbk. atau TINS terpantau berfluktuatif usai terkuaknya kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP. Begini analisisnya.

Baca Selengkapnya

Kasus Harvey Moeis Korupsi Timah, Peran Lobi-Lobi hingga Membeli Barang Mewah Miliaran

28 hari lalu

Kasus Harvey Moeis Korupsi Timah, Peran Lobi-Lobi hingga Membeli Barang Mewah Miliaran

Pada Kamis, 4 April 2024, istri Harvey Moeis, selebriti Sandra Dewi mendatangi Kejaksaan Agung untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi

Baca Selengkapnya