TEMPO Interaktif,
Jakarta:Majelis Ulama Indonesia (MUI) belum menemukan adanya unsur-unsur judi dalam penyelenggaraan undian berhadiah kerja sama antara PT Metropolitan Magnum Indonesia (MMI) dengan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). "Namun berpotensi mengarah judi dan diharamkan dalam agama Islam," kata Sekjen MUI, Din Syamsuddin, ketika memberikan penjelasan di hadapan Komisi VI DPR, di gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/2). Pemaparan itu merupakan hasil kajian Komisi Fatwa MUI berdasarkan konsep tertulis dan keterangan lisan dari Departemen Sosial maupun MMI. Menurut Din, indikasi mengarah ke perjudian dilihat dari penjualan tiket akan dilaksanakan meluas di berbagai tempat, tapi jadwal pertandingan olahraga yang ditonton tidak jelas. MUI melihat tempat di mana pertandingan olahraga akan diselenggarakan, berapa besar daya tampung penontonnya, berapa banyak tiket yang dijual pun tidak jelas. Sehingga tidak menjamin pembeli tiket pasti dapat menonton pertandingan olahraga itu. Karena itu MUI melihat kondisi ini rawan manipulasi (ghoror), membuat orang kecewa dan tidak ikhlas membeli tiket. Undian berhadiah yang ditujukan menghimpun dana masyarakat untuk kepentingan sosial dan peningkatan kualitas olahraga, tapi nyatanya persentase bagian untuk KONI hanya lima persen dan Departemen Sosial RI hanya sepuluh persen. Disamping itu, kata Din, Dewan Pimpinan MUI juga mempertimbangkan perbandingan antara maslahah (kebaikan) dan mafsadah (hal yang negatif) yang timbul dari undian berhadiah ini lebih banyak mafsadahnya bagi masyarakat. Legalisasi undian berhadiah yang bertujuan menggali dan menghimpun dana masyarakat akan mendorong munculnya model-model penghimpun dana serupa dengan iming-iming hadiah. Hal ini bisa menjauhkan masyarakat dari etos kerja keras. MUI juga mempertimbangkan pemberian hadiah yang diberikan kepada pembeli tiket tidak terkait atas prestasi atau kesungguhan berusaha tapi hanya disebabkan kecocokan angka, huruf, atau karena faktor keberuntungan dan kebetulan. Pemerintah dan penyelenggara, menurut MUI, cenderung mencari keuntungan melalui kegiatan bisnis undian dengan menyerap dana dari masyarakat yang justru tengah dilanda krisis. "Tindakan ini dapat dikategorikan dlulum, yaitu mengeksploitasi masyarakat untuk sesuatu yang komersial," kata Dien. Karena itu, MUI berpendapat berbagai bentuk dan modus undian berhadiah termasuk yang akan dilakukan MMI adalah kegiatan komersial yang sarat dengan unsur ghoror, ighra (menimbulkan daya tarik luar biasa), dan kontra produktif. "Mudorotnya lebih besar dari manfaatnya dan itu harus ditolak dari segi ajaran Islam," kata salah satu Ketua MUI, Umar Shihab. MUI juga mengharapkan agar pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial meninjau kembali pemberian izin kegiatan pengumpulan dana dari masyarakat. Jika Departemen Sosial sudah memberikan izin atas penyelenggaraan undian itu, menurut Shihab, MUI hanya menyampaikan sikap. "Kalau Departemen Sosial silakan saja, mungkin akan ada reaksi dari umat Islam karena umat Islam tidak sependapat," kata dia. Masalah ini, menurut dia, merupakan pendangkalan akidah, karena memaksa orang membeli tiket menonton pertandingan. Salah satu Ketua MUI, Amidan, mengatakan saat ini banyak perjudian di masyarakat baik dalam bentuk toto gelap (togel) atau bola dunia yang marak di Jawa Timur. "Kalau pemerintah mengesahkan undian gratis berhadiah seperti ini, sama saja melegalkan apa yang marak di masyarakat," kata Amidan. Dalam pemaparannya, Din mengungkapkan pada 11 September 1999, Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan pedoman penggalian dan penghimpunan dana masyarakat. Hal ini menjadi rambu-rambu bagi siapapun yang melakukan kegiatan itu. Ada sepuluh ketentuan dalam pedoman itu yang dijabarkan.Penggalian dan penghimpunan dana masyarakat hendaknya benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum islam. Penggalian dan penghimpunan dana masyarakat tidak boleh dipaksakan dan tidak memberatkan masyarakat. Menurut MUI, penghimpunan dana masyarakat dapat dilakukan melalui penjualan berbagai produk yang halal dan bermanfaat bagi masyarakat.Harga produk yang dijual pun harus berdasarkan harga standar yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Jika penjualan produk itu berhadiah maka nilai hadiah tidak boleh berlebihan karena bisa menyebabkan ighra. Standar tidak berlebihan ini dapat didiskusikan lebih jauh dengan unsur di dalam masyarakat. Tata cara pemberian hadiah kepada pembeli seperti yang disyaratkan dalam pedoman itu harus secara hukum Islam dan terhindar dari riba. Kegiatan ini harus diawasi oleh lembaga pengawas seperti akuntan publik dan DPR dengan manajemen terbuka agar mencegah penyimpangan manipulasi dan korupsi. Pedoman itu mensyaratkan pembagian hasil penjualan produk harus bertitik tolak dari tujuan diadakannya program ini. Di dalam tanggapannya, Komisi VI DPR yang dibacakan pemimpin sidang, Wakil Ketua Komisi VI Anwar Arifin, memberikan apresiasi atas sikap MUI terkait undian berhadiah yang dinilai sarat komersial. Komisi VI juga memberikan penghargaan atas penilaian bahwa kegiatan ini lebih banyak mudhorotnya, dan karena itu meminta izinnya ditinjau kembali. "Komisi VI mendukung pendapat MUI, tapi mestinya mendengarkan pendapat dari orang lain," katanya.Sebelum kesimpulan itu dibacakan, beberapa anggota Dewan menyampaikan pendapat dan pertanyaannya kepada MUI. Rusdi, dari Fraksi PDIP mengungkapkan persoalan lotere di negara mayoritas beragama Islam pun sebenarnya bukan hal aneh. "Di Kuwait dan di Mesir banyak yang berjudi, mereka tidak masalah kalau harus keluar uang puluhan ribu dolar untuk berjudi," kata dia. Sedangkan Agusman Sutanbasah dari fraksi Partai Golkar meminta perlunya pendapat dari agama lain atas undian berhadiah itu.
Istiqomatul Hayati - Tempo News Room