BUMN dan Pemerintah Pusat Sumbang Kerugian Rp 848,14 Miliar
Reporter
Editor
Selasa, 5 April 2011 14:42 WIB
Kinerja kementrian BUMN. TEMPO/Seto Wardhana
TEMPO Interaktif, Jakarta - Pada semester II tahun 2010 BPK melaksanakan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) pada 31 objek pemeriksaan. Pemeriksaan ini meliputi 21 objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah pusat, delapan objek pemeriksaan di lingkungan pemerintah daerah dan dua objek pemeriksaan di lingkungan BUMN. Dari pemeriksaan terhadap anggaran sebesar Rp 285,531 triliun itu ditemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 848,14 miliar.
Terhadap 21 objek PPDT di lingkungan pemerintah pusat, BPK menemukan beberapa kejanggalan. Pada pemeriksaan terhadap laporan keuangan Bank Indonesia, BPK menemukan tunggakan KUT TP 1998/1999 dengan pola channeling tanpa disertai sertifikat penjaminan Perum Jamkrindo senilai Rp1,92 triliun.
Di Kementerian Keuangan, penatausahaan dan pencatatan realisasi penerimaan belum memungkinkan dilakukannya identifikasi penyetor secara tepat waktu dan tepat jumlah. Hal ini menyebabkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam senilai Rp 1,48 triliun yang belum diperhitungkan dalam bagi hasil ke daerah Tahun 2009.
BPK juag menemukan bahwa BUMN operator belum sepenuhnya memenuhi ketentuan mengenai penagihan dan penyaluran subsidi BBM, listrik, pupuk, dan benih. Hal ini mengakibatkan kelebihan belanja subsidi Tahun 2009 senilai Rp1,90 triliun yang diperhitungkan dalam pembayaran subsidi tahun berikutnya.
Menurut Purnomo Hadi, BPK juga menemukan kejanggalan dalam pelaksaan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Di sepuluh KPA, terdapat belanja yang sifatnya berulang dan tidak mendesak senilai Rp 2,57 triliun dianggarkan pada BA BSBL termasuk di antaranya digunakan untuk biaya operasional entitas yang belum memiliki bagian anggaran sendiri. “KPA juga tidak tertib melaksanakan belanja lain-lain,” katanya.
Dia mencontohkan di sembilan KPA, pengadaan barang dan jasa senilai Rp57,37 miliar tidak didukung bukti yang lengkap dan valid, di antaranya senilai Rp 6,99 miliar merupakan belanja fiktif atau kelebihan belanja yang tidak dikembalikan.