TEMPO Interaktif, Jakarta: Industri perbankan dianggap pihak yang memicu krisis ekonomi di Indonesia. Penilaian ini diberikan karena perbankan melakukan pengetatan likuiditas yang berlebihan.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia mengatakan penyebab krisis memang bukan dari bank tapi di Indonesia perbankan memulai krisis itu dengan mengerem kredit tanpa memilah sektor yang rentan dan tidak rentan. "Bank berlebihan dalam mengetatkan kredit," kata Wiwiek di Jakarta, Kamis (4/6).
Khusus untuk lembaga pembiayaan, dia melanjutkan, perbankan berkali-kali melakukan pengetatan likuiditas yang memperlambat pertumbuhan industri pembiayaan. Hasilnya, pertumbuhan penyaluran kredit perusahaan pembiayaan tahun ini diperkirakan turun sebesar 20 persen. Perkiraan tersebut dianggap lebih baik dari prediksi sebelumnya yakni turun sekitar 25 persen. Perkiraan itu didapat dengan melihat pencapaian pada tiga bulan pertama tahun ini.
Wiwie mengemukakan, pada kuartal pertama 2009 penjualan kendaraan bermotor roda dua hanya meningkat sekitar 1,6 juta unit sehingga dengan kondisi tersebut berimbas pada pembiayaan yang dilakukan oleh multifinance.
Pada segmen pembiayaan mobil, bisa turun lebih rendah hingga 30 persen seiring dengan pertumbuhan sektor otomotif yang belum seperti keadaan pada semester pertama 2008.
Dia juga berharap bank-bank milik pemerintah dapat menjadi pionir bagi bank swasta untuk menurunkan suku bunga. "Kalau sama dengan bank swasta buat apa ada bank BUMN," ujarnya.
EKO NOPIANSYAH
Berita terkait
Sri Mulyani Beberkan Efek Konflik Timur Tengah ke Indonesia, Mulai dari Lonjakan Harga Minyak hingga Inflasi
2 hari lalu
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tensi geopolitik di Timur Tengah cenderung meningkat dan menjadi fokus perhatian para pemimpin dunia. Ia menegaskan kondisi ini mempengaruhi beberapa dampak ekonomi secara signifikan.
Baca SelengkapnyaEkonom Ideas Ingatkan 3 Tantangan RAPBN 2025
3 hari lalu
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono menyebut RAPBN 2025 akan sejumlah tantangan berat.
Baca SelengkapnyaSetelah Kemarin Melemah, Kurs Rupiah Hari Ini Diprediksi Menguat
3 hari lalu
Analis Ibrahim Assuaibi, memperkirakan rupiah hari ini fluktuatif dan akan ditutup menguat pada rentang Rp 16.150 sampai Rp 16.220 per dolar AS.
Baca SelengkapnyaPengamat Sebut Kenaikan BI Rate hanya Jangka Pendek, Faktor Eksternal Lebih Dominan
3 hari lalu
BI menaikkan BI Rate menjadi 6,25 persen berdasarkan hasil rapat dewan Gubernur BI yang diumumkan pada Rabu, 24 April 2024.
Baca SelengkapnyaIHSG Ditutup Melemah Ikuti Mayoritas Bursa Kawasan Asia
3 hari lalu
IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore, ditutup turun mengikuti pelemahan mayoritas bursa saham kawasan Asia.
Baca SelengkapnyaTerpopuler: Kontroversi 1 Juta Hektare Padi Cina di Kalimantan, Deretan Alasan BI Naikkan Suku Bunga
4 hari lalu
Berita terpopuler bisnis pada 24 April 2024, dimulai rencana Cina memberikan teknologi padi untuk sejuta hektare lahan sawah di Kalimantan.
Baca SelengkapnyaTingginya Suku Bunga the Fed dan Geopolitik Timur Tengah, Biang Pelemahan Rupiah
4 hari lalu
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut pelemahan rupiah dipengaruhi oleh arah kebijakan moneter AS yang masih mempertahankan suku bunga tinggi.
Baca SelengkapnyaGubernur BI Prediksi Suku Bunga The Fed Turun per Desember 2024: Bisa Mundur ke 2025
4 hari lalu
Gubernur Bank Indonesia atau BI Perry Warjiyo membeberkan asumsi arah penurunan suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR).
Baca SelengkapnyaBI Naikkan Suku Bunga Acuan, Bank Mandiri: Penting di Tengah Ketidakpastian dan Fluktuasi Global
4 hari lalu
Bank Mandiri merespons soal kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI).
Baca SelengkapnyaBI Naikkan Suku Bunga Acuan Jadi 6,25 Persen, Perry Warjiyo: Untuk Perkuat Stabilitas Rupiah
4 hari lalu
BI akhirnya menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 6,25 persen. Apa alasan bank sentral?
Baca Selengkapnya