TEMPO Interaktif, Jakarta:Pengamat Ekonomi dari INDEF, Imam Sugema, menyatakan dalam empat tahun terakhir Indonesia telah gagal menciptakan stimulus fiskal. Hal ini dikatakan Imam Sugema di Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (22/1). Ada beberapa indikator yang menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menciptakan stimulus fiskal: Pertama, tahun 1999-2003 keseimbangan uang primer selalu menunjukkan surplus, hal ini menunjukkan kebijakan fiskal secara agregrat bersifat kontraktif karena jumlah uang yang disetor dari masyarakat lebih banyak dari jumlah yang dibelanjakan. Kedua, jumlah pengeluaran pembangunan pemerintah relatif sangat kecil sehingga diperkirakan tidak mampu menjadi komplemen bagi investasi swasta. Dalam APBN 2002 pembangunan, hanya dianggarkan sekitar 3,1 persen dari GDP. Dan pada tahun 2003 direncanakan meningkat menjadi 3,36 persen. Padahal pada periode krisis anggaran pembangunan berkisar 6-7 persen dari GDP. Hal ini mengkhawatirkan karena pembangunan infrastruktur sangat vital bagi investasi swasta. Jadi tidak mustahil investasi swasta mengalami penurunan. Ketiga, sementara pengeluaran pembangunan tidak berkembang, justru penerimaan pajak yang terus digenjot untuk kompensasi peningkatan beban utang. Jika peningkatan pajak tidak disertai peningkatan pengeluaran pembangunan dikhawatirkan akan terjadi kontraproduktif yang menghambat proses pemulihan ekonomi. Oleh karena itu harus ada kemauan yang keras untuk mengubah kebijakan fiskal yang kontraktif menjadi lebih ekspansif. Salah satunya dengan menciptakan sistem pajak yang dapat merangsang aktivitas usaha dan investasi. Pemerintah telah mengumumkan untuk memberikan 45 stimulus fiskal. Akan tetapi terdapat beberapa kelemahan yang mendasar dari kebijakan fiskal semacam itu sehingga tidak dapat diharapkan efektif dalam meningkatkan kapasitas produktif dunia usaha. Penyebabnya adalah kebijakan fiskal tersebut cenderung memiliki dampak yang lebih besar terhadap sisi konsumsi. Hal ini ditandai dengan pemotongan tarif PPn barang mewah terhadap berbagai jenis produk elektronik. Kebijakan ini dikhawatirkan hanya mendorong konsumsi untuk barang-barang yang tarif pajaknya diturunkan. Selain itu, pemotongan tarif pajak yang tidak menyeluruh hanya akan menguntungkan beberapa jenis produk. Akibatnya, kebijakan ini tidak bisa diharapkan efektif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Dengan kondisi ini perlu adaanya perubahan paradigma kebijakan perpajakan yang mampu meningkatkan daya saing sekaligus mengamankan penerimaan pemerintah. Hal ini bisa tercapai jika insentif pajak secara efektif dapat meningkatkan aktivitas perekonomian. Artinya potential loss yang disebabkan perubahan kebijakan pajak harus dapat dikompensasi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga penerimaan pajak secara keseluruhan tidak mengalami penurunan. Jadi menurut Imam Sugema, sistem perpajakan harus dirancang untuk menggerakkan sisi penawaran (supply side). Priandono Tempo News Room
Berita terkait
Aktivis Laporkan Pj Wali Kota Yogyakarta ke Gubernur DIY hingga Ombudsman, Ini Alasannya
2 menit lalu
Aktivis Laporkan Pj Wali Kota Yogyakarta ke Gubernur DIY hingga Ombudsman, Ini Alasannya
Koalisi Pegiat HAM dan Anti Korupsi melaporkan Pj Wali Kota Yogyakarta Singgih Rahardjo ke Gubernur DIY, Mendagri, KPK dan Ombudsman