TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah berkomitmen memperkuat kerja sama dengan Jepang, khususnya di bidang agribisnis dan kelautan.
Hal tersebut disampaikan Rahmat Gobel, Utusan Khusus RI untuk Jepang dalam urusan investasi. Jika mengutip data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jepang konsisten bertengger di peringkat lima besar sepanjang 2011-2016.
Baca:
Pasar Mobil China Naik 4%
Teror Truk Stockholm: Tersangka Akui Lakukan Aksi Terorism
Huawei Dorong Infrastruktur Video
“Jepang memang bukan investor baru dan negara ini juga sudah merambah hampir semua sektor bisnis di Indonesia. Target dalam jangka panjang adalah bagaimana Indonesia menggaet kerja sama dengan Jepang untuk menggarap pasar internasional, tidak lagi domestik,” katanya di Jepang, Selasa, 11 April 2017.
Sejauh ini, investor asal Jepang sudah masuk di sejumlah sektor industri mulai dari makanan dan minuman, manufaktur, properti, teknologi, infrastruktur, otomotif, kelautan, dan agribisnis di Indonesia. Kendati demikian, kerja sama di agribisnis dan kelautan dinilainya masih belum maksimal dalam menarget pasar mancanegara.
Rachmat mencontohkan fokus Jepang dalam membidik pasar kuliner halal, baik untuk pasar domestik maupun internasional. Dalam hal ini, dia menyebutkan penguatan kerja sama antara Indonesia dan Jepang bisa dilakukan untuk memberikan dukungan teknologi bagi industri makanan dan minuman, atau agribisnis di hulunya.
Menurutnya, untuk mengambil pasar produk halal, tidak hanya dibutuhkan dukungan dari sisi bahan bakunya, tetapi juga prosesnya yang mencakup sistem produksi, penyimpanan, hingga pengemasan.
“Tidak hanya makanan dan minuman, tetapi juga kosmetik dan obat-obatan. Potensi pasarnya bisa mencapai Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Saya berencana mengajak Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan [Badan POM] untuk menjajaki kerja sama dengan Japan External Trade Organization (JETRA),” katanya.
Dia juga menargetkan komoditas agribisnis misalnya buah-buahan dan rempah-rempah bisa masuk ke pasar mancanegara dengan dukungan kerja sama Jepang. Sejauh ini, belum banyak produk Indonesia yang mampu menembus pasar tradisional akibat lemahnya dukungan standarisasi.
“Cabai misalnya, di sini selalu menimbulkan inflasi. Jika ada dukungan teknologi untuk mendongkrak produktivitasnya, tentu saja kekurangan pasokan ini tidak akan terjadi lagi,” tegasnya.