TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Teddy Wibisana mengatakan peluang Freeport hengkang dari Indonesia sangat kecil meskipun perusahaan tersebut mengultimatum pemerintah akan membawa permasalahan ini ke lembaga arbitrase internasional.
Baca: Freeport Krisis, Jumlah Penumpang Garuda ke Timika Turun
Teddy menuturkan, pada 2013, Freeport Indonesia memberikan kontribusi laba usaha sebesar US$ 1.531 juta, atau sebesar 24 persen dari laba Freeport-McMoRan, perusahaan induk Freeport Indonesia. Sedangkan pada 2014, Freeport Indonesia menyumbang sekitar US$ 817 juta. Jumlah itu menurun, tapi dari segi persentase meningkat menjadi 42 persen.
Baca: Peneliti UGM Sebut Ancaman Freeport Hanya Gertak Sambal
“Masak kontribusi sebesar itu mau ditinggalkan,” kata Teddy dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 23 Februari 2017.
Baca Juga:
Sementara itu, Chief Executive Officer Freeport-McMoran Richard Adkerson mengancam pemerintah Indonesia dengan memberi tenggat 120 hari untuk menyelesaikan persoalan kontrak sejak Senin, 13 Februari 2017. Dalam ultimatumnya, Freeport akan membawa permasalahan ke lembaga arbitrase internasional jika pemerintah Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan kontrak sesuai dengan tenggat yang diberikan.
Pemerintah Indonesia sebelumnya mengeluarkan regulasi terhadap Freeport. Peraturan menyebutkan divestasi saham Freeport Indonesia sebesar 51 persen, kontrak karya berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus, dan ada kewajiban membangun smelter. Namun Freeport menolak peraturan tersebut.
Teddy mengatakan regulasi itu tidak bisa ditolak oleh Freeport. Sebab, di sisi lain, sudah beberapa tahun Freeport tidak membagi dividen kepada para pemegang sahamnya.
“Problem Freeport adalah saat mereka terjun di pertambangan migas,” katanya. Pada 2013, kata Teddy, minyak dan gas sedang berada di titik terendah. Berbeda dengan minyak dan gas, beberapa komoditas, seperti emas dan tembaga, memberikan kontribusi positif walau ada perubahan regulasi.
Teddy menegaskan, Freeport harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia. Dengan mengikuti aturan, mereka masih mendapat kontribusi yang besar dari emas di Papua. “Jangan dong karena kesalahan mereka dalam investasi di migas, kita harus juga menanggungnya,” ujarnya.
DANANG FIRMANTO