TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan gugatan enam pemohon yang mengajukan keberatan terhadap Peraturan Menteri Perindustrian nomor 63 tahun 2015. MA meminta Menperin mencabut peraturan tersebut karena dinilai bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tidak berlaku secara umum.
Enam pemohon itu di antaranya M. H. Panjaitan, Hery Chariansyah, H. Kartono Mohamad, Hias Dwi Untari Soebagio, Widyastuti Soerojo, dan Elysabeth Ongkojoyo. Mereka mempersoalkan peraturan kementerian yang menargetkan adanya peningkatan produksi rokok dengan pertumbuhan 5 hingga 7,4 persen per tahun sampai tahun 2020. Artinya, peningkatan ini membuat total produksi rokok akan menjadi 524,2 miliar batang pada tahun 2020.
Baca: Tegas, Bea Cukai Musnahkan Rokok dan Miras Senilai 14 Miliar
Dalam keterangan tertulisnya, Communication and Media Relation Komnas Pengendalian Tembakau Nina Samidi mengatakan perkiraan penduduk Indonesia di tahun 2020 adalah 270 juta orang. “Maka di tahun itu, setiap orang, baik anak-anak maupun dewasa akan merokok 1900-an batang rokok per tahun,” ujar Nina, Selasa, 13 Desember 2016.
Menurut Nina, secara tidak langsung peraturan itu akan mendorong peningkatan pemasaran atau penyerapan hasil produksi yang akan meningkatkan konsumsi masyarakat. Peningkatan konsumsi ini, kata Nina, perlu diwaspadai karena tren menunjukkan konsumen rokok adalah konsumen domestik sehingga produksi yang tinggi akan menyasar pada anak dan masyarakat Indonesia.
Baca: Rokok Bunuh 200 Ribu Orang Indonesia Tiap Tahun
Padahal, konsumsi rokok memiliki konsekuensi yang sangat membahayakan bagi masa depan Indonesia, bukan saja terkait dampaknya terhadap kesehatan, namun juga ekonomi, sosial, dan lingkungan secara luas. Keenam pemohon itu, kata Nina, yakin bahwa permohonan keberatan hak uji materil adalah sebuah momentum untuk mengubah haluan bangsa agar tidak hanya mementingkan keuntungan ekonomi bagi korporasinya, tetapi justru mengedepankan tanggung jawab hak asasi manusia.
Dalam Putusan MA nomor 16P/HUM/2016 tertanggal 5 Oktober 2016 menyatakan peraturan Kemenperin bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai.
“Kita semua harus memberi apresiasi kepada Mahkamah Agung yang pada akhirnya mengabulkan keberatan kami. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang sangat tepat dan sangat berpengaruh pada masa depan bangsa ini nantinya,” ujar Todung Mulya Lubis, advokat senior yang memimpin pengajuan permohonan keberatan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI Lily Sriwahyuni Sulistyowati mengatakan Kementerian Kesehatan selama ini telah berusaha keras agar prevalensi perokok turun sehingga kualitas kesehatan rakyat Indonesia meningkat. Peraturan tersebut dinilainya bertentangan dengan Peta Jalan Kementerian Kesehatan yang menargetkan penurunan jumlah perokok.
“Karena itu, Dengan terbitnya Putusan MA ini, kami berharap tidak ada lagi usaha-usaha untuk mengalahkan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesehatan masyarakat,” ujar Lily.
LARISSA HUDA