TEMPO.CO, Jakarta - Paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi Indonesia menuai pujian dari pemerintah Amerika Serikat. Mereka bahkan ingin ikut terlibat dalam pembentukan paket kebijakan tahap 2 dan 3 yang tengah dirumuskan.
“Pemerintah AS berharap bisa memberikan masukan dan saran, supaya tujuan kebijakan dapat tercapai secara optimal,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi melalui siaran pers yang diterima Tempo pada Jumat, 25 September 2015. Kebijakan-kebijakan ini akan sangat berpengaruh untuk meningkatkan arus barang dari AS.
Indonesia bertemu AS dalam Trade and Investment Framework Agreement (TIFA)-Trade and Investment Council (TIC) di Washington D.C., AS, pada 18-19 September 2015. Pertemuan diselenggarakan di kantor United State Trade Representative (USTR). Delegasi Indonesia dipimpin Dirjen KPI Bachrul Chairi.
Delegasi AS dipimpin Deputi USTR untuk wilayah Asia dan Pasifik Barbara Wessel. TIFA-TIC merupakan payung kerja sama bilateral RI-AS. Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, ini merupakan pertemuan pertama setelah vakum selama dua tahun dan merupakan pertemuan ke XIV.
Dalam pertemuan TIFA ini AS dan Indonesia membicarakan hubungan dan hambatan perdagangan antara Indonesia dan AS dalam payung TIFA-TIC. Setelah tertunda sejak 2013, kedua belah pihak telah menyelesaikan pembahasan berbagai isu yang menjadi perhatian kedua negara.
Sedangkan saat bertemu Kadin AS dibahas isu-isu bisnis pelaku usaha AS terkait kebijakan perdagangan dan investasi di Indonesia. Selain bicara deregulasi, pemerintah AS menyampaikan kekhawatiran tentang persyaratan produk halal. Pemerintah AS berencana mengintensifkan dialog terkait hal tersebut.
Pemerintah AS melihat ada hambatan untuk memasuki pasar Indonesia dalam sektor 4G Long Term Evolution (LTE) dan mobile technology. Pemerintah Indonesia menetapkan harus ada muatan lokal minimum supaya barang tersebut bisa masuk. Pihak AS berpendapat masih ada kebijakan lainnya untuk dapat ditempuh dalam mendapatkan sasaran.
Isu lain, tentang keberadaan Data Local Center. Data ini dipandang dapat merusak investasi di Indonesia. Untuk dapat dioperasikan di Indonesia, data center harus mencapai data skala ekonomi yang besar yang dapat dicapai dengan pemberian pelayanan secara global.
Sementara isu yang dibawa Indonesia, kata Bachrul, mengenai sustainable palm oil. Ia mengharapkan pemerintah AS segera dapat memutuskan status Indonesia terkait dengan studi tentang gas emisi dari biodiesel yang diekspor Indonesia ke AS.
Bachrul juga mengapresiasi pemberian Generalised System of Preferences (GSP) oleh AS kepada Indonesia dan berharap bahwa tiga produk usulan tambahan Indonesia, yaitu biodiesel, plywood, dan wiring harness dapat dimasukkan dalam skop Eligible Products yang berjumlah 3.945 produk.
Selain itu, Bachrul mengajukan action plan dan mengharapkan dukungan pemerintah AS agar dapat sepenuhnya menerima rezim Intellectual Property Rights (IPR) Indonesia. Indonesia juga menyampaikan permintaan dukungan dan kerja sama untuk memenuhi standar Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing AS. Ketentuan ini akan segera ditetapkan dan ketentuan ini diharapkan tidak menimbulkan hambatan baru. “Kami juga meminta Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia untuk dapat diakui,” kata Bachrul.
URSULA FLORENE