TEMPO.CO, Jakarta -Ekonom senior di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J. Rachbini, mengatakan perekonomian di bawah pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak banyak mengalami pergerakan seperti harapan banyak pihak. Selama tiga tahun, perekonomian berjalan datar tanpa perubahan berarti.
Pergerakan ekonomi yang datar, bahkan cenderung menurun, tecermin dari kinerja ekspor Indonesia. “Empat tahun lalu berhasil mencapai US$ 200 miliar, sekarang hampir US$ 117 miliar, separuh tergerus. Ini gawat," kata Didik Rachbini, kutip Koran Tempo edisi Kamis 20 Juli 2017.
Simak: Penjelasan Sri Mulyani Soal Menurunnya Daya Beli Masyarakat
Padahal, Didik melanjutkan, nilai ekspor merupakan tanda pemerintahan yang hidup. Saat ini terjadi dekonsumsi dan deekspansi yang dilakukan pemerintah. "Itu menunjukkan pemerintah tidak mengerjakan pekerjaannya untuk bersaing di tingkat internasional."
Penurunan kinerja ekspor ini berdampak pada penerimaan pajak dan akan berimbas pada penerimaan APBN. "Makanya pertumbuhan sekarang stagnan di bawah 5 persen. Janji kampanye 7 persen,” kata Didik.
Didik juga menyoroti penurunan konsumsi dan daya beli masyarakat. Kondisi ini bisa dilihat dari sejumlah peretail banyak melakukan pemutusan hubungan kerja. "Seluruh supermarket konsumsi yang dulu diandalkan sekarang anjlok semua. Hypermart lay-off karyawan,” ujarnya. “Tandanya daya beli melemah.”
Adapun tingkat kesenjangan di Tanah Air, kata dia, masih tinggi. Hal itu tecermin dari tingkat ketimpangan dan kesenjangan Indonesia yang masuk tiga besar. "Indeks gini rasio, walaupun ini pengeluaran dan tidak mencerminkan aset itu tetap naik.”
Menurut Didik, Indonesia termasuk tiga negara besar paling senjang di dunia. Satu persen pemilik akun di bank menguasai 80 persen dari total utang. “Itu kesenjangan yang luar biasa.”
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong mengatakan pertumbuhan investasi dan wisatawan asal Cina akan mampu menyeimbangkan defisit perdagangan Indonesia dengan negara tersebut. Dampak laju investasi dan pariwisata dianggap lebih cepat dibanding ekspor-impor.
"Kalau uang yang mengalir dari Cina ke Indonesia kembali dari wisatawan atau dalam bentuk investasi, itu akan menyeimbangkan hubungan. Genjot mereka akan lebih cepat daripada lewat ekspor," ujarnya.
Neraca perdagangan Indonesia dengan Cina pada Juni 2017 mengalami defisit US$ 728,9 juta. Sedangkan defisit sepanjang Januari-Juni 2017 mencapai US$ 6,6 miliar lantaran impor yang jauh lebih tinggi daripada ekspor. Adapun komoditas ekspor terbesar ke Cina di antaranya bubur kertas atau pulp, minyak sawit, dan bahan logam, termasuk produksi smelter.
Sebelumnya Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengakui indeks rasio gini belum banyak mengalami perubahan. Rasio gini pada Maret lalu turun menjadi 0,393 dibanding September 2016 sebesar 0,394. “Tidak turun, tapi juga tidak naik. Memang yang namanya pemerataan itu indikator yang tidak mudah berubah," kata dia.
Namun Darmin bersyukur angka rasio gini tidak memburuk. Dia mengatakan tugas menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi sekaligus menekan angka penduduk miskin tak mudah. Realisasinya membutuhkan waktu dan berbagai kebijakan perekonomian pemerintah.
DIKO OKTORA | PUTRI ADITYOWATI | ALI NY