TEMPO.CO, Jakarta - Dugaan adanya perbudakan yang dilakukan PT Pusaka Benjina Resources membuat industri ikan Indonesia terancam. Apabila terbukti maka Indonesia dapat dikatakan melanggar hukum internasional tentang perbudakan.
"Bisa-bisa ekspor kita dilarang dunia internasional," kata Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad pada Selasa, 31 Maret 2015. Sudirman mewakili Menteri Kelautan Perikanan Susi Pudjiastuti mengisi seminar "Roadmap Pembangunan Kelautan Menuju Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia" di Hotel Pullman, Jakarta Pusat.
Indikasi perbudakan pertama kali dilaporkan oleh kantor berita Associated Press. Dalam laporan berjudul "Was Your Seafood Caught By Slaves?" pada 25 Maret 2015, AP memaparkan bagaimana perlakuan tidak manusiawi diterima anak buah kapal Benjina yang mayoritas berasal dari Myanmar.
Menanggapai itu, Kepala Satuan Tugas Anti Illegal Fishing Mas Achmad Santosa mengklaim Menteri Susi telah mengambil beberapa tindakan. "Beliau sudah menghubungi penegak hukum di area tersebut," katanya saat dihubungi Tempo.
Mas Achmad menambahkan Tim Satgas mulai mengirimkan tim analisis dan evaluasi ke Benjina untuk pengumpulan bukti pada Rabu besok. Tim lain yang bekerjasama dengan Thailand juga mulai bekerja sejak Senin kemarin. Selain itu, Tim dari Pengawasan Sumber Daya Kelautan Perikanan pun juga dikerahkan. Ota, begitu Mas Achmad biasa disapa, menegaskan timnya berfokus pada praktik illegal fishing yang diduga dilakukan PT Pusaka Benjina Resources.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan perusahaan yang berada di Kepulauan Aru, Maluku memiliki banyak banyak kapal eks-asing tanpa dokumen resmi.
Surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal penangkap ikan (SIKPI) yang dipegang PT PBR pun sudah kadaluarsa. Cara mereka berburu ikan juga melanggar Undang-Undang Perikanan karena menggunakan alat tangkap trawl.
URSULA FLORENE SONIA