TEMPO.CO, Jakarta - PT Perusahaan Listrik Negara telah menyepakati harga solar yang baru sesuai dengan permintaan PT Pertamina sebesar 109,5 persen dari Mean of Plats Singapore (MOPS). Namun, kesepakatan harga tersebut hanya untuk periode Juli hingga Desember 2014.
"Kami sudah mengeluarkan surat bahwa PLN setuju dengan harga yang diajukan Pertamina untuk semester 2 dan berlaku mulai Juli," kata Kepala Divisi Bahan Bakar Minyak dan Gas PLN Suryadi Mardjoeki, Senin, 11 Agustus 2014. (Baca: Tanpa Solar, Listrik Sumut-Makassar Terancam)
Menurut Suryadi, keputusan tersebut sudah melalui rapat bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pada Kamis, 7 Agustus 2014. "Begitu rapat sepakat, sorenya kami langsung keluarkan surat," kata dia.
Namun, perubahan harga solar masih menyisakan ganjalan. Sebab, Pertamina sebenarnya menginginkan kontrak dengan harga baru tersebut dimulai dari Januari 2013 hingga 2015. "Kalau itu bukan kuasa kami, melainkan Dirjen Anggaran karena kaitannya dengan subsidi listrik," ujarnya. (Baca: Kisruh Solar, PLN-Pertamina Godok Harga Bareng)
Suryadi mengatakan sebenarnya pada tahun 2013 PLN sudah meneken kontrak harga beli solar rata-rata sebesar 107,8 persen dari MOPS. Penghitungan tersebut diperoleh dari kontrak harga solar di 22 lokasi sebesar 105 persen dari MOPS, 2 lokasi sebesar 108 persen dari MOPS, 1 lokasi dengan 108,5 persen dari MOPS, dan 12 lokasi dengan harga 109,5 persen dari MOPS.
Namun, ternyata harga yang menguntungkan bagi Pertamina adalah 109,5 persen sehingga masih ada kekurangan bayar yang harus dilunasi oleh PLN. "Itulah kenapa dia merasa rugi," katanya. (Baca: Kisruh Solar, Dahlan Akan Panggil Pertamina-PLN)
Kamis lalu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan Pertamina dan PLN sudah berdialog untuk menyelesaikan kisruh soal harga solar. "Kesepakatannya solar tetap disuplai, sementara tagihan pembayarannya akan dipertimbangkan. Tentu saja ada campur tangan pemerintah untuk membantu PLN," kata Susilo. (Baca: Dahlan Iskan Panggil Bos PLN dan Pertamina)
Menurut dia, masalah yang melibatkan kedua perusahaan pelat merah ini sangat kompleks. Di satu sisi, jumlah tagihan pembayaran solar yang disampaikan Pertamina ke PLN selalu lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan Pertamina untuk pengadaan bahan bakar tersebut. Dengan demikian tak mengherankan bila hal ini merugikan Pertamina. Di sisi lain, PLN juga tidak bisa membayar solar karena kuota untuk BBM subsidi terbatas.
AYU PRIMA SANDI
Terpopuler:
Prabowo Disebut Terasing dari Pemilihnya
Aburizal Bakrie: Enggak Ada Pecat-pecatan
Poempida Bantah Kabar Kalla Muntah Darah
Pembalap Denny Triyugo Tewas di Sirkuit Sentul