TEMPO.CO, Jakarta- Kementerian Perdagangan segera menyita Blackberry Q10 dan Z10 ilegal yang marak beredar di pasaran saat ini. Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian, Nus Nuzulia Ishak, mengatakan sudah mengantongi izin untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan pada gerai-gerai penjualan, salah satunya di ITC Roxy Mas Jakarta Pusat, "Kami sudah mendapat kewenangan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata dia kepada Tempo, Selasa 21 Mei 2013.
Nus mengatakan Blackberry tipe Q10 belum memiliki izin edar. Sedangkan Blackberry Z10 yang dilengkapi layar sentuh sudah diizinkan untuk beredar. "Namun banyak gerai yang menjual barang selundupan," ujarnya. Barang-barang ilegal tersebut diselundupkan dari Malaysia melalui Batam untuk menghindari bea masuk sehingga keuntungan yang didapat bisa lebih banyak.
Direktur Pemasaran dan Komunikasi Erajaya Group, Djatmiko Wardoyo, memastikan Blackberry Q10 yang ada di pasaran saat ini adalah ilegal. Dia mengatakan, Erajaya melalui PT Teletama Artha Mandiri (TAM), distributor resmi Blackberry di Indonesia, akan meluncurkan Blackberry Q10 awal Juli mendatang.
Peredaran barang ilegal, kata Djatmiko, merugikan distributor resmi. Sebab, distributor sulit memasarkan barang resmi karena harganya lebih mahal ketimbang selundupan. "Jelas kalah karena kami harus membayar pajak hingga 12,5 persen dari harga asli," katanya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, harga Blackberry Q10 di pasaran saat ini mencapai Rp 10-13 juta. Padahal sejumlah distributor resmi dan perusahaan seluler mengatakan harga gadget itu akan berkisar antara Rp 6-8 juta.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Gunaryo mengatakan impor ponsel cukup tinggi. Catatan PT Sucofindo menyebutkan, pada 2012 impor ponsel Indonesia mencapai 52,35 juta unit atau naik 16 persen dibandingkan 2011. Pada kuartal pertama 2013, Badan Pusat Statistik mencatat impor telepon seluler mencapai Rp 6,1 triliun. Dia menduga peredaran barang selundupan turut melonjak, seiring kenaikan impor tersebut.
TIKA PRIMANDARI | ANANDA PUTRI
Terpopuler