TEMPO.CO, Jakarta - Kinerja emiten di sektor logam mineral kuartal pertama 2012 ini tidak menunjukkan perbaikan. PT Vale Indonesia Tbk dan PT Timah (Persero) Tbk merupakan dua emiten yang mengalami penurunan kinerja yang cukup signifikan hingga 31 Maret 2012.
PT Vale Indonesia mencatat laba bersih sebesar US$ 3,8 juta di kuartal pertama 2012. Perolehan laba ini anjlok 2.844 persen atau sekitar 29 kali lipat dari perolehan di periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar US$ 111,9 juta. Menurut Direktur Keuangan Vale, Fabio Bechara, penurunan drastis itu karena harga nikel turun cukup signifikan di triwulan pertama.
"Harga realisasi rata-rata menurun 24 persen, dari US$ 20.246 per metrik ton di kuartal pertama 2011 menjadi US$ 15.470 per metrik ton selama kuartal pertama 2012," kata Fabio dalam keterangan pers, Jakarta, Selasa 1 Mei 2012.
Sebenarnya, Januari lalu, harga nikel sempat mengalami kenaikan. Namun kemudian harga itu terus menurun sampai akhir triwulan. Harga rata-rata nikel pun mencapai US$ 15.470 per metrik ton. Dibandingkan kuartal 4 tahun lalu, harga realisasi ini masih sedikit lebih tinggi.
Harga yang kurang menguntungkan ditambah dengan hasil penjualan yang rendah mengakibatkan penjualan perseroan turun 39 persen menjadi US$ 197 juta di 31 Maret 2012 dari sebelumnya US$ 322,4 juta di 31 Maret 2011. Harga pokok penjualan perseroan malah meningkat 10 persen dari US$ 154,8 juta menjadi US$ 170,9 juta. "Peningkatan ini karena biaya jasa dan kontrak serta biaya karyawan yang tinggi," katanya.
Tak hanya kinerja keuangan yang turun, kinerja operasi emiten yang dulunya bernama PT International Nickel Indonesia Tbk juga merosot. Volume produksi turun 25 persen dibandingkan triwulan pertama 2011. Menurut Fabio, hal ini lantaran perusahaan melakukan pekerjaan pembangunan kembali Tanur Listrik 2 dan perbaikan Tanur Listrik 1 sejak akhir tahun lalu.
Kondisi yang sama juga dialami PT Timah (Persero) Tbk. Laba bersih emiten berkode efek TINS itu mencapai Rp 207,7 miliar, 41 persen lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp 354,7 miliar. Hal ini menyebabkan turunnya laba bersih per saham dari Rp 71 per saham menjadi Rp 41 per saham pada triwulan pertama tahun ini.
Penyebab utama turunnya laba bersih karena menurunnya harga rata-rata logam timah dunia seiring dengan meningkatnya suplai timah dari negara produsen timah di Asia selain Indonesia. Harga tertinggi logam timah dunia adalah US$ 25.650 per metrik ton di 8 Februari 2012 dan terendah US$ 19.415 per metrik ton di 5 Januari 2012 dengan harga rata-rata selama triwulan pertama 2012 sebesar US$ 22.941 per metrik ton.
"Harga rata-rata yang diterima kami hingga 31 Maret 2012 mencapai US$ 23.101 per metrik ton. Ini lebih rendah 22 persen dari harga rata-rata periode yang sama di tahun lalu sebesar US$ 29.695 per metrik ton," kata Abrun Abubakar, Sekretaris Perusahaan PT Timah.
Pendapatan dari penjualan pun mengalami penurunan, yaitu sebesar Rp 2,17 triliun atau 3 persen lebih rendah dari posisi 31 Maret 2011 sebesar Rp 2,24 triliun. Sementara beban pokok pendapatan malah naik 7 persen dari Rp 1,6 triliun menjadi Rp 1,72 triliun hingga akhir Maret 2012.
Sementara itu penjualan perusahaan timah pelat merah ini mengalami kenaikan sebesar 13 persen dari 7.992 metrik ton menjadi 9.022 metrik ton di kuartal pertama 2012. Namun produksi perusahaan malah mengalami penurunan dari 8.503 metrik ton pada triwulan pertama 2011 menjadi 6.842 metrik ton pada triwulan pertama 2012.
Ahmad Sudjatmiko, analis PT Pemeringkat Efek Indonesia, mengatakan harga komoditas di awal tahun ini memang tengah mengalami penurunan. Harga tersebut akhirnya berdampak terhadap kinerja perusahaan yang bergerak di sektor logam mineral itu. Namun, dia percaya, kinerja emiten bakal terkerek lagi setelah adanya kenaikan harga di setiap komoditas. "Dalam jangka panjang, (harga) akan naik lagi," kata dia ketika dihubungi Tempo.
Dia mengakui kinerja operasional emiten di sektor itu juga belum optimal di tiga bulan pertama tahun ini. Permintaan yang datang juga belum begitu banyak. Jika produksi belum banyak, permintaan pun tidak akan terlalu banyak.
Menurut dia, permintaan terhadap komoditas tersebut akan banyak di kuartal ketiga tahun ini. Terutama untuk komoditas nikel yang banyak digunakan untuk consumer goods. "Menjelang Lebaran, nikel akan banyak digunakan. Permintaan di kuartal ketiga," ujar Miko, panggilan akrabnya.
Kinerja saham emiten-emiten komoditas itu pun sementara ini masih wait and see, tergantung dari penjualan dan permintaan di kuartal kedua ini. "Masih akan lihat dulu, masih konsolidasi," katanya.
SUTJI DECILYA