TEMPO Interaktif, Jakarta - Pesanan batik tulis di Sleman, Yogyakarta, selama bulan puasa melonjak sampai 100 persen. "Kami sampai kewalahan memenuhi pesanan," kata Endang Wilujeng, seorang perajin batik di Dusun Gatak, Donokerto, Turi, Sleman, Kamis 4 Agustus 2011.
Selama Ramadan dia menerima pesanan sebanyak 200 potong. Padahal, pada bulan sebelumnya, order batik hanya sekitar 30 potong.
Endang mempekerjakan 15 orang dengan keahlian khusus membatik tulis dengan kualitas tinggi. Harga paling murah sebesar Rp 350 ribu per lembar kain ukuran 1,5 meter kali dua meter. Sedangkan yang termahal mencapai Rp 2,5 juta karena dibuat dengan perwarnaan alami dan lebih rumit dalam pembuatannya.
Batik yang banyak disukai konsumen adalah jenis campursari atau campuran motif dan warna. Untuk membuat satu kain dibutuhkan waktu 20-30 hari setiap orang. "Pesanan kebanyakan dari luar Yogyakarta, seperti Semarang dan Jakarta," kata Endang.
Saat ini, dia sedang menjajaki pasar batik di Singapura untuk pengembangan bisnisnya. Motif batik yang diandalkan oleh perajin batik Sleman itu adalah motif wahyu tumurun, parang rusak, kawung, dan krokosono.
Berbeda dengan perajin batik, perajin payung di Sleman mengalami kelesuan karena masuk musim kemarau. Di sentra produksi payung di Dusun Ngentak, Pondokrejo, Tempel, itu kini tidak bisa menjual payung. Saat ini para perajin hanya menyediakan peralatan servis payung. "Tidak laku satupun payung dari para perajin di sini," kata Sumiyati, salah satu perajin payung.
Di sentra produksi payung terdapat 23 perajin. Pada musim penghujan, penjualan payung mencapai 400 payung per perajin. Hasil dari penjualan payung itu ditabung untuk persiapan biaya hidup pada musim kemarau. Harga payung antara Rp 8.000 hingga Rp 30 ribu.
MUH. SYAIFULLAH