TEMPO Interaktif, Surakarta – Batik tulis biasanya tidak memiliki patokan pasti karena dibuat berdasarkan kreativitas. Jadi, tidak heran jika motif batik tulis begitu beraneka ragam. Kaitannya dengan paten, pengusaha batik kesulitan mematenkannya karena jumlahnya yang banyak itu.
“Selain karena banyaknya motif, kesulitan mematenkan karena waktunya yang panjang. Hampir setahun baru jadi patennya,” kata pengusaha batik di Kauman, Gunawan Setiawan, kepada Tempo, Kamis, 16 Juni 2011. Begitu paten didapat, produk serupa telanjur beredar luas di pasaran karena motifnya sudah disontek orang lain. “Jadinya sia-sia,” lanjutnya.
Belum lagi jika bicara biaya yang harus dikeluarkan. Dia mengatakan ratusan ribu rupiah yang dikeluarkan tidak sebanding dengan harga jual batik tulis, mengingat batik tulis tidak diproduksi dalam bentuk massal. Gunawan selama ini lebih banyak membuat kombinasi batik cap dan tulis yang dijual sekitar Rp 200-300 ribu. Dalam sebulan dia mampu menghasilkan 200-300 potong. Sementara, untuk batik tulis, tiap bulan bisa dihasilkan 30-50 potong yang dijual seharga Rp 500-750 ribu.
Berkaca pada kondisi di atas, Gunawan tidak mempermasalahkan penjiplakan motif batiknya. Dia juga menyebutkan kalau paten itu tidak perlu, asalkan motif batik itu tidak dimiliki oleh perorangan, perusahaan, atau daerah tertentu. “Kalau sudah jadi milik bersama, tidak perlu dipatenkan,” ujarnya yang hingga kini memilih tidak mematenkan motif batiknya.
Untuk mengantisipasi penjiplakan motifnya, dia berkreasi dengan menciptakan motif baru. Baik kombinasi dengan motif lama atau yang benar-benar baru.
Pendapat lebih tegas tentang tidak perlunya paten motif batik disampaikan oleh Widiarso, pengusaha batik di Laweyan. Menurutnya, batik tulis yang motifnya beraneka ragam dan jumlahnya bisa ribuan itu mubazir jika dipatenkan. “Rasanya sia-sia belaka,” ujarnya.
Oleh karena itu, dia tidak mempermasalahkan ketika motif batiknya ditiru orang lain. Kunci produk batik menurutnya dari segi warna. Motif gampang ditiru, tapi pewarnaan susah diikuti. “Misalnya untuk menghasilkan semburat warna tertentu, tidak semua orang bisa,” jelasnya.
Namun, hal tersebut tentu saja tidak lantas membuat para pengusaha batik berpangku tangan dan membiarkan motifnya ditiru. Menurut Widiarso, pengusaha batik juga harus terus menggali kreativitas dengan membuat motif baru. “Apalagi kalau sudah punya pangsa pasar sendiri, produknya tetap dicari,” katanya. Dalam sepekan dia bisa menghasilkan 10 buah batik tulis dengan pewarna alam yang dijual seharga Rp 450 ribu hingga jutaan rupiah.
UKKY PRIMARTANTYO