Dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, dan Menteri Keuangan, Boediono, wajib pajak yang tidak mau melunasi tunggakan pajaknya akan terkena sanksi penyanderaan (gizjeling). Sanksi gizjeling ini diberikan agar pengemplang pajak mau membayar tunggakan pajaknya, kata Direktur Jenderal pajak, Hadi Poernomo usai acara penandatangan SKB di Departemen Kehakiman dan HAM, Rabu (25/6).
Sedangkan untuk wajib pajak yang masih beritikad baik dan kooperatif dalam penyelesaian tunggakan pajaknya, Direkorat Jenderal Pajak masih memberikan kesempatan untuk mendiskusikan penyelesaian tunggakan dengancara tunai maupun angsuran. Sedangkan untuk wajib pajak yang tidak kooperatif, kami tidak ragu-ragu untuk melakukan tindakan represif seperti pemblokiran rekening bank, pencegahan dan penyanderaan, ujar Hadi.
Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Direkorat Jenderal Pajak memiliki data tunggakan pajak yang cukup besar, tahun 2001 tunggakan pajak sebesar Rp. 13,3 trilyun, tahun 2002 Rp. 17,3 trilyun, tahun 2003 Rp. 17,1 trilyun. Oleh karena itu, menurut Hadi perlu dilakukan upaya khusus (extra effort) dalam pencairan dan pengurangan tunggakan tersebut.
Sejak tahun 2002, DJP sudah mengambil langkah-langkah persuasif maupun aktif represif dengan mengoptimalkan kinerja Jurusita Pajak dengan cara menerbitkan Surat Teguran sebanyak 342.553 lembar, Surat Paksa 52.549 lembar, Surat Perintah melakukan Penyitaan (SPMP)4.207 lembar. Dan pada tahun 2002 lalu, kami sudah berhasil melakukan pencairan tunggakan sampai Rp 6,7 trilyun dan US$ 14,749 juta, kata Hadi menjelaskan.
Hadi juga mengungkapkan, dalam tahun 2002 sampai dengan minggu kedua bulan Juni 2003, pihaknya telah melakukan pencekalan terhadap 40 wajib pajak yang tidak kooperatif, termasuk didalamnya 8 orang yang berkewarganegaraan asing (ekspatriat).
Dengan adanya payung hukum SKB ini, wajib pajak yang tetap tidak mau melunasi tunggakan pajaknya atau tidak kooperatif akan terkena sanksi penyanderaan. Tetapi kami masih mempelajari SKB tersebut. Tidak semua akan kami kenakan sanksi ini. Hanya mereka yang tidak kooperatif dan ingin melarikan keluar negeri saja, yang terkena sanksi penyanderaan, jelas Hadi.
Masa penyanderaan yang diberikan, kata Hadi, diberikan secara bertahap, tahap pertama diberikan waktu selama enam bulan, dan ini bisa diperpanjang lagi sampai enam bulan. Kendati pengemplang pajak tersebut terkena sanksi penyanderaan, lanjut Hadi, bukan berarti mereka terbebas dari kewajiban membayar pajaknya. "Upaya paksanya sendiri dengan cara melakukan penyitaan dan pelelangan melalui SPMP,"ujarnya.
Menurut Menteri Keuangan, Boediono, dengan adanya SKB ini merupakan suatu kemenangan yang bisa mengamankan keuangan negara agar wajib pajak yang ogah-ogahan membayar pajak mau melaksanakan kewajibannya sesuai dengan aturan. Tetapi kewenangan ini harus dijalankan dengan seadil-adilnya, sejujur-jujurnya, dan selurus-lurusnya. Jangan sampai ada akur-akuran antara pengemplang pajak dengan aparat pajak, kata Boediono.
Ia menambahkan, sebenarnya kewenangan ini sudah ada sejak lama, tetapi belum digunakan dalam praktek perpajakan. Dengan adanya SKB ini, ada tata tertib yang lebih baik lagi, ungkapnya.
(Detrizki-TNR)