Selain itu, Riefky juga meminta pemerintahan mendatang untuk merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan produktivitas sektor industri dan manufaktur agar dapat meningkatkan kontribusi mereka terhadap penerimaan negara.
Ia menyampaikan mengenakan lebih banyak jenis pajak terhadap sektor-sektor tersebut justru bukanlah kunci untuk meningkatkan kontribusi mereka.
“Kalaupun mau dinaikkan (penerimaan pajaknya), memang perlu langkah yang lebih konsekuen dan lebih gradual (bertahap) untuk tidak menimbulkan unintended consequences (konsekuensi yang tidak diinginkan) di perekonomian,” ujarnya.
Sementara terkait pembentukan Badan Penerimaan Negara, Riefky mengatakan, praktik pemisahan antara Kementerian Keuangan dan lembaga penerimaan telah dilakukan secara efektif di banyak negara.
Meskipun begitu, ia menyoroti sejumlah tantangan bagi pemerintahan mendatang dalam melakukan praktik tersebut, salah satunya mempersiapkan transisi pemisahan kedua institusi tersebut.
“Yang mungkin juga menjadi isu adalah sinkronisasi fiskal dari sisi belanja dan penerimaan. Ini kan dulu di bawah satu kementerian, lalu dipisah, nah ini mungkin perlu dipikirkan bagaimana nanti sinkronisasinya,” imbuhnya.
Rencana pendirian Badan Penerimaan Negara yang baru dan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 23 persen merupakan salah satu dari delapan program hasil terbaik cepat (quick win) yang diusung oleh Prabowo-Gibran.
Hal tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan anggaran pemerintah untuk menjalankan berbagai program pembangunan yang berdampak ekonomi.
Pilihan Editor: Basuki Hadimuljono Sebut Hari-Hari Menjelang Purna Tugas sebagai Hari Sulit