KLHK Disebut Tak Transparan dalam Proses Pemutihan Sawit
Sementara itu, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) Ahmad Zazali mengatakan organisasinya juga telah menganalisis proses perkembangan penerapan sanksi administrasi bagi usaha di kawasan hutan tanpa izin ini sejak Agustus 2022. PURAKA mencatat kinerja KLHK dalam penyelesaian usaha dalam kawasan hutan tanpa izin masih sangat rendah dan lamban.
“Dari 1.192 subjek hukum yang sudah diminta kelengkapan data oleh KLHK, baru 240 subjek hukum yang telah melengkapi data,” kata Zali.
Kemudian, baru 65 subjek hukum yang sudah sampai tahap verifikasi lapangan dan 48 subjek hukum yang sudah sampai tahap penafsiran citra satelit resolusi tinggi. “Serta sedikitnya 15 subjek hukum yang telah membayar denda,” kata Zali.
Tak hanya itu, Zali menyebut sejak awal transparansi dan akuntabilitas KLHK memang telah dinantikan publik. Transparansi itu meliputi berapa besar denda yang sudah terkumpul, siapa saja pelaku usaha korporasi dan individu yang telah diloloskan atau diputihkan oleh KLHK.
Zali menyebut semua informasi itu harus dibuka secara transparan ke publik. “Karena informasi yang berkembang penyelesaian denda ini diduga banyak kongkalikong dalam pengurusannya. Penggeledahan oleh Kejaksaan Agung diyakini terkait dugaan tindak pidana suap dan gratifikasi terkait penentuan besaran denda tersebut”, kata Zali.
Pendapat Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Gunawan setali tiga uang dengan Sawit Watch dan PURAKA. Sebagai kuasa hukum Sawit Watch, Gunawan mengatakan akan menindaklanjuti apa saja yang mendasari putusan MA.
“Utamanya bersandar dari keterangan pemerintah, Pertama, terkait tetap dijadikannya UU Cipta Kerja sebagai landasan,” kata dia.
Padahal, Gunawan mengatakan Undang-Undang Cipka Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dan telah diganti dengan Perpu yang sudah ditetapkan menjadi undang-undang oleh DPR.
Selain itu, Gunawan mengatakan Sawit Watch juga menyoroti kesenjangan antara jumlah subjek hukum dengan jumlah yang ditangani oleh pemerintah. Menurut Gunawan kedua dasar itu menunjukan bahwa perubahan UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan melalui UU Cipta Kerja yang kemudian menjadi landasan hukum PP Nomor 24 Tahun 2021 tidak cukup bisa didayagunakan.
“Sehingga membuka peluang untuk diuji materikan di MK. Selain juga perlu perbaikan tata kelola penyelesaian kebun sawit di kawasan hutan dan tata kelola kebun sawit itu sendiri sehingga tidak berwatak ekspansif,” kata Gunawan.
Sementara itu, Rambo mengatakan pemerintah harus segera membatasi pengembangan komoditas sawit. Dia menyebut hasil kajian Sawit Watch dan organisasi masyarakat sipil menunjukkan batas atas luasan sawit di Indonesia sebesar 18,15 juta hektar.
“Kami menuntut pemerintah agar fokus pada luasan sawit yang ada dengan mengedepankan intensifikasi dan memperbaiki tata kelola sawit dengan mengedepankan prinsip keterbukaan,” kata dia.
Usai penggeledahan di KLHK, Rambo mengatakan proses selanjutnya akan lebih transparan sehingga ada titik terang atas kondisi yang sebenarnya terjadi. Dia menyebut perlu ada penggalian fakta yang lebih dalam dan menyeluruh.
“Jangan sampai proses pembenahan tata kelola sawit yang selama ini dijalankan menjadi tidak optimal. Upaya-upaya perbaikan tata kelola sawit menuju keberlanjutan masih harus menempuh jalan panjang serta dibutuhkan kesungguhan dan komitmen penuh dari banyak pihak,” kata Rambo.
Pilihan Editor: BPKP Tanggapi Soal Data Penerimaan Negara Bocor Rp300 Triliun: Masih Diaudit