TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi mengklaim Indonesia telah berhasil mengembangkan potensi energi hijau dengan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung terbesar di Asia Tenggara. Pembangkit listrik itu terdapat di Waduk Cirata, Jawa Barat dengan kapasitas mencapai 192 megawatt peak (MWp).
"Kami memiliki PLTS terapung pembangkit listrik tenaga surya terapung di Waduk Cirata dengan kapasitas 192 megawatt peak. Terbesar di Asia Tenggara dan terbesar ketiga di dunia," kata Jokowi saat membuka Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, di Balai Sidang Jakarta (JCC), Kamis, 5 September 2024, seperti dikutip dari Antara.
Baca juga:
Kepala Negara telah meresmikan PLTS Terapung Cirata tersebut pada November tahun lalu. Pembangkit listrik tersebut merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi sumber energi listrik di Indonesia.
Tak hanya itu, Jokowi juga menyebutkan Indonesia memiliki potensi energi hijau yang melimpah, mencapai lebih dari 3.600 gigawatt (GW). Potensi energi hijau tersebut berasal dari energi air, angin, matahari, panas bumi, gelombang laut hingga bioenergi.
Adapun sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan sebelumnya berharap ISF 2024 yang digelar hingga besok ini dapat turut mewujudkan agenda transisi energi dunia.
"Saya percaya ISF 2024 bukan hanya sebuah diskusi yang membahas tantangan perubahan iklim, tapi juga merupakan platform untuk inovasi, kolaborasi dan harapan guna mewujudkan kemajuan yang berkelanjutan," ucap Luhut.
Dalam acara selama dua hari tersebut, kata Luhut, ada lebih dari 11 ribu partisipan dari 53 negara hadir untuk mengikuti rangkaian kegiatan berupa 10 sesi plenari, 14 sesi tematik, dan tujuh diskusi level tinggi, sehingga diharapkan bisa membawa pemajuan pada transisi energi, industri hijau, konservasi alam, kehidupan berkelanjutan serta ekonomi biru.
Luhut juga menyebutkan kebijakan Indonesia ihwal energi baru terbarukan (EBT) tidak akan langsung serupa dengan negara-negara lain. Meski begitu, kebijakan pemerintah dipastikan tetap mempertimbangkan faktor-faktor lain termasuk mendukung kesejahteraan rakyat.
"Kita tidak mau policy yang kita buat itu mengganggu pertumbuhan ekonomi kita dan itu harus juga betul dinikmati oleh rakyat-rakyat kecil kita. Makanya policy kita mengenai energi terbarukan itu tidak bisa serta-merta mencontoh negara-negara maju," tuturnya.
Sebagai contoh, pemerintah memiliki kebijakan untuk merespons aset besar yang dimiliki dalam penanganan perubahan iklim, termasuk potensi penyimpanan emisi karbon sekitar 600 gigaton melalui Carbon Capture and Storage (CCS).
Tidak hanya itu, Indonesia juga memiliki ekosistem mangrove seluas 3,3 juta hektare yang memiliki kemampuan besar untuk menyimpan emisi gas rumah kaca (GRK) tidak hanya di atas permukaan, tapi juga di bawah permukaannya.
Adapun emisi per kapita Indonesia juga lebih rendah dibandingkan negara-negara maju, dengan catatan 2 ton per kapita karbon emisi dibandingkan 14-15 ton per kapita untuk Amerika Serikat. Oleh sebab itu, menurut Luhut, Indonesia dapat mencapai kondisi net zero emission atau emisi nol bersih lebih cepat daripada target 2060 dengan kerja sama berbagai pihak termasuk mendorong penggunaan kendaraan listrik.
Pasalnya, kata Luhut, penggunaan bahan bakar fosil menimbulkan berbagai kerugian bagi Indonesia, termasuk polusi udara yang berbahaya untuk kesehatan. "Air pollution kita keluar Rp 38 triliun. Ya dari pemerintah saja di BPJS akibat dari air pollution di Jakarta."
Pilihan Editor: Terkini: Faisal Basri dalam Kenangan Anies Baswedan, Chatib Basri, dan Goenawan Mohamad; Jokowi Terima Bos Vale Indonesia di Istana