TEMPO.CO, Jakarta - Presiden terpilih Prabowo Subianto bertekad menjalankan janji kampanye berupa pemberian makan bergizi gratis untuk anak sekolah, balita, ibu hamil dan menyusui mulai 2025. Rencana itu didukung Presiden Jokowi dengan menyediakan anggaran Rp71 triliun dalam RAPBN 2025 dan pembentukan Badan Gizi Nasional.
Pemberian makanan bergizi tersebut sudah disimulasikan di sejumlah sekolah dalam bentuk nasi, sayur, lauk dan susu. Pola ini yang disorot oleh ahli gizi masyarakat, Dokter Tan Shot Yen sudah ketinggalan zaman.
Baca juga:
"Kenapa harus ada susunya?" kata Tan Shot Yen dalam media talk di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.
Pasalnya pemberian susu dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2014. Kandungan gizi dalam susu bisa digantikan dalam bentuk nutrisi lainnya.
"Kita sudah keluar dari empat sehat lima sempurna, karena itu sudah lawas banget," kata Tan. Pola makanan yang disebut 4 sehat 5 sempurna, yang terdiri atas protein, karbohidrat, lemak, vitamin, serta mineral meliputi makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, dan buah-buahan, dan disempurnakan dengan susu sebagai nutrisi pelengkap.
Dalam Permenkes Nomor 41 Tahun 2014, disebutkan bahwa saat ini patokan tentang asupan makanan disebut Pedoman Gizi Seimbang yang telah diimplementasikan di Indonesia sejak 1955 dan merupakan realisasi dari rekomendasi Konferensi Pangan Sedunia di Roma tahun 1992.
"Pedoman tersebut menggantikan slogan 4 Sehat 5 Sempurna yang telah diperkenalkan sejak tahun 1952 namun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang gizi serta masalah dan tantangan yang dihadapi," demikian tertulis dalam lampiran Permenkes itu.
"Diyakini dengan mengimplementasikan Pedoman Gizi Seimbang secara benar, semua masalah gizi dapat diatasi".
Banyak yang alergi susu
Menurut Tan Shot Yen, selain sudah tidak sesuai zaman, masalah lain adalah adanya kondisi mayoritas masyarakat Asia Tenggara yang intoleran terhadap laktosa yaitu gula alami yang ada dalam susu.
"Bahwa 80 persen lebih orang Asia Tenggara intoleran dengan laktosa. Siapa di sini yang minum sesuatu berbahan susu, kemudian mengalami mencret, diare, kembung, mual? Bisa bayangkan apakah kondisi masyarakat yang secara etik genetik kita seperti itu, malah diberi makanan berbahan susu," katanya.
Selain itu, pemberian susu, terlebih susu yang memiliki rasa, rawan untuk menyabotase pemenuhan gizi anak.
"Jadi rentan banget dengan yang disebut dengan manipulasi rasa, manipulasi kandungan gizi. Akhirnya ini merupakan sabotase yang kita sebenarnya ingin anak menjadi lebih baik tapi nanti yang dipilih cuma susunya doang. Nanti makanan yang tidak habis dibawa pulang untuk dibagikan ke bapak ibunya," kata dr Tan.
Dalam Buku II Nota Keuangan Tahun Anggaran 2025, dijelaskan bahwa Program Makan Bergizi Gratis merupakan program yang didesain untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) bermutu dan berdaya saing.
Program Makan Bergizi Gratis yang dilakukan melalui pemberian makan bergizi dan susu gratis di sekolah dan pesantren, serta bantuan gizi untuk anak balita, dan ibu hamil/menyusui dengan risiko anak stunting.
Pada usia sekolah, selain menjadi penambah nutrisi, Program MBG diharapkan dapat mendorong kehadiran siswa di sekolah sehingga akan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Selain itu, untuk mengurangi angka absensi atau putus sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas SDM. Program Makan Bergizi Gratis juga diharapkan dapat berdampak positif terhadap kesehatan dan prestasi akademis para murid.
Pilihan Editor Ini Alasan Pemkab Bogor Tak Gusur Restoran Asep Stroberi di Kawasan Puncak