TEMPO.CO, Jakarta - Center for Energy Security Studies (CESS) mengkritisi rencana Penjabat Gubernur Jakarta Heru Budi Hartanto soal rencananya akan membangun pulau sampah di kawasan Jakarta Utara. Langkah Heru dianggap bentuk dari kewalahan dalam mengatasi persoalan sampah.
“Ide tersebut membuktikan Pj Gubernur Heru Budi kewalahan dan gagal mengatasi masalah sampah di Jakarta sehingga mencoba mencari pengalihan untuk menutupi kegagalan itu,” kata Direktur Eksekutif CEDS Ali Ahmudi Achyak dalam keterangan tertulis pada Ahad, 25 Agustus 2024.
Ali menyebut meski pemerintah telah mengambil berbagai langkah dan kebijakan untuk mengatasi masalah sampah di Jakarta, urusan ini masih belum terpecahkan.
Berdasarkan data capaian kinerja pengelolaan sampah di SIPN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), timbulan sampah di Jakarta dalam dua tahun terakhir terus naik, sedangkan jumlah sampah yang tertangani semakin berkurang.
Pada 2023, timbulan sampah di Jakarta meningkat menjadi 3,14 juta ton, dari sebelumnya 3,11 juta ton pada 2022. Sedangkan jumlah sampah yang dikelola turun dari 2,29 juta ton menjadi 2,27 juta ton pada 2023.
Ali menyebut dirinya tidak heran rencana Heru Budi untuk mengkaji pembangunan proyek pulau sampah di Jakarta ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada pertengahan Agustus lalu. Ali mendukung pendapat DPRD DKI Jakarta yang meminta Heru Budi fokus dan serius mengatasi masalah sampah dengan program-program yang telah dibuat oleh Pemda DKI sebelumnya.
Pada 15 Agustus sebelumnya, Komisi D DPRD DKI Jakarta menolak pengajuan anggaran kajian pembangunan pulau sampah karena akan didirikan dengan konsep pulau reklamasi. Sementara itu, kajian atas pulau reklamasi hingga kini disebut masih tidak jelas.
Ali menilai program penanganan masalah sampah di DKI Jakarta yang dijalankan oleh Pj Gubernur Heru Budi tidak sesuai dengan praktik terbaik di kota-kota besar di dunia. Rencana ini disebut tak tepat bila dijalankan di Jakarta.
Sementara itu, Ali menyinggung Heru Budi yang masih mendorong pembangunan fasilitas pabrik pengolah sampah dengan metode Refused-Derived Fuel (RDF) di Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat dan di Rorotan, Jakarta Utara.
“RDF plant hanya cocok untuk kota kecil dengan volume sampah terbatas, karena RDF hanya dapat mengolah sampah 30 persen, sisanya menjadi residu yang harus diolah kembali,” kata Doktor Universitas Indonesia (UI) ini.
Dengan volume sampah yang besar hingga sekitar 8.000 ton per hari, menurut Ali, pemprov Jakarta perlu mengatasi timbulan sampah yang terus meningkat dengan teknologi incinerator atau pembakaran tuntas dan cepat. Langkah ini diklaim telah dijalankan di kota-kota besar di dunia seperti di Jepang, Singapura, dan sejumlah negara maju lainnya.
“Dengan teknologi insenerator yang sekarang semakin maju dan dikategorikan lebih ramah lingkungan, sampah habis diurai dan diolah, bahkan bisa dikonversi menjadi energi listrik,” tutur Ali.
Sebelumnya Heru Budi menyebut, ide pulau sampah tercetus karena keterbatasan lahan untuk pengelolaan dan proses akhir sampah di daratan Jabodetabek.
"Itu kan ide Pemda DKI untuk mencari tempat, tempat enggak bisa lagi di lahan daratan yang ada di Jakarta maupun di Jabodetabek, ya sama-sama memikirkan itu," ujar Heru di kawasan Monas, Jakarta Pusat, pada pertengah Mei lalu.
Pilihan Editor: