TEMPO.CO, Jakarta - Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut proyeksi penerimaan negara sekitar Rp 2.996,9 triliun dan belanja negara sebesar Rp 3.613,1 triliun. Sementara itu, untuk inflasi ditargetkan di angka 2,5 persen dan defisit anggaran sekitar 2,53 persen dari GDP.
Ekonom senior INDEF Didik J. Rachbini mengatakan Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak ke depan akan sangat menentukan sektor penerimaan pajak dan menjaga momentum ekonomi yang baik. Dia menyebut kemampuan Kementerian Keuangan pada pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan menjadi faktor kritis. “Sekaligus siapa menterinya akan menjadi faktor kritis,” kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Ahad, 18 Agustus 2024.
Sementara itu, Didik menyebut target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen bakal mengalami tantangan dengan adanya penurunan daya beli masyarakat. Menurutnya, saat daya beli menurun dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2 persen itu tak cukup memulihkan daya beli itu.
“Target pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya tidak cukup untuk memulihkan daya beli tersebut. Jadi harus ada upaya reformasi struktural agar tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari, yang ditargetkan 5,2 persen pada tahun 2025,” kata Didik.
Didik mengatakan langkah itu perlu ditempuh agar ada ruang lebih dan meningkatkan penerimaan pajak. Namun, jika daya beli masyarakat melemah atau terjadi tekanan inflasi pendapatan pajak pun dinilai akan berpengaruh. “Maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak bisa terpengaruh. Pemerintah sekarang akan berjibaku menjaga keseimbangan antara pengumpulan pajak dan tidak memberatkan ekonomi masyarakat,” kata Didik.
Didik menyarankan reformasi perpajakan harus dilanjutkan, termasuk digitalisasi dan memperluas basis pajak. Sektor itu, kata Didik, meliputi industri non-migas dan jasa. “Tetapi sektor ini melorot dan tumbuh rendah serta mengalami stagnasi bertahun-tahun karena tidak ada sentuhan kebijakan. Jika pertumbuhan sektor ini bisa tumbuh 8-10 persen, maka pengumpulan pajak akan mendapat ruang yang leluasa,” kata Didik.
Selain itu, Didik juga menyebut sektor baru yang perlu digali adalah ekonomi digital, kreatif, dan pariwisata. Dia mengatakan dengan perkembangan e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital sektor ini bisa menjadi peluang besar. “Sektor ini merupakan peluang besar untuk menambah penerimaan pajak melalui pengenaan pajak pada platform digital dan transaksi daring,” kata Didik.
Didik juga turut menyoroti defisit anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Dalam RAPBN tersebut defisit anggaran direncanakan Rp 616,2 triliun rupiah atau sekitar 2,53 persen dari GDP.
Didik menyebut angka defisit itu sangat besar dan pada akhirnya akan ditutup dengan utang. “Ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang. Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi ini kebijakan utang memang ugal-ugalan, sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintah Prabowo,” kata dia.
Sementara itu, Didik mengatakan janji politik yang banyak dari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dianggap akan menyulitkan untuk mengurangi ketergantungan pada utang. Dia memprediksi laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat. “Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus,” kata dia.
Sementara itu, Peneliti Ekonomi Makro dan Finansial INDEF Riza Annisa Pujarama juga menyoroti laporan APBN Kinerja dan Fakta edisi Juli 2024 yang menunjukkan utang pemerintah telah menembus Rp8.444 triliun. Angka ini meningkat Rp91 triliun dibanding bulan sebelumnya yakni Rp8.353 triliun. Rasio utang juga meningkat menjadi 39,13 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), atau hampir menyentuh 40 persen.
Riza mengatakan penarikan utang yang tinggi akan berisiko pada bunga utang yang juga tinggi. “Imbal hasil dari penarikan utang kita sangat tinggi,” kata dia.
Selain itu, ia juga menyoroti bond yield Indonesia yang paling tinggi Asean dan tertinggi nomor dua di Asia dengan angka 6.7050 yield. Dia menyebut pemerintah meski berupaya menurunkan bond yield ini karena akan memberatkan di masa depan. “Ini yang memberatkan di masa depan untuk penarikan utang lebih banyak,” kata dia.
Sebelumnya, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo juga turut menanggapi peningkatan utang tersebut. “Pemerintah mengambil langkah proaktif untuk mengantisipasi ketidakpastian global melalui penarikan utang yang berbasis pada fleksibilitas dan opportunistic approach,” ujarnya di media sosial X pribadinya @prastow, dikutip Sabtu, 3 Agustus 2024.
Dengan pendekatan oportunis, dia melanjutkan, penarikan utang memungkinkan dilakukan lebih awal, demi memitigasi risiko di masa depan. Karena itu, pada bulan Juni 2024 pemerintah menarik pinjaman lebih besar dari sebelumnya. Sehingga rasio utang terhadap PDB juga naik.
Meski demikian, anak buah Sri Mulyani tersebut menyatakan angka rasio utang terhadap PDB Indonesia masih tergolong moderat. Berdasarkan laporan paruh awal 2024, pemerintah memproyeksikan rasio utang hingga akhir 2024 sebesar 38,80 persen terhadap PDB. “Pemerintah bersama DPR memastikan perencanaan utang sebagai bagian kebijakan APBN dilakukan dengan baik, berhati-hati, dan memerhatikan dinamika global dan domestik,” ujarnya.
Pilihan editor: Istana soal Reshuffle Kabinet: Diperlukan untuk Dukung Transisi Pemerintahan