TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti The PRAKARSA, Bintang Aulia Lutfi, menilai banyaknya insentif pajak yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan justru merupakan pangkal masalah rendahnya rasio penerimaan negara-negara ASEAN. Menurut dia, kelonggaran itu telah mendorong penurunan tarif minimum pajak. “Terdapat penurunan rata-rata tarif minimum pajak (Corporate Income Tax/CIT) dari 0,85 persen menjadi 20,85 persen,” kata dia melalui keterangan tertulis, Kamis, 6 Juni 2024.
Bintang menjelaskan, pemberian insentif pajak kepada perusahaan tidak serta-merta mampu mempercepat pemulihan ekonomi. Meski negara-negara di ASEAN membutuhkan penanaman modal asing untuk pemulihan ekonomi, mengandalkan insentif pajak perusahaan saja tidak cukup.
Sebaliknya, kata Bintang, ketergantungan berlebihan negara-negara ASEAN pada insentif pajak dapat menciptakan fenomena "race to the bottom". Situasi ini terjadi ketika negara-negara berlomba-lomba menawarkan insentif pajak lebih besar kepada perusahaan, tapi akhirnya hanya menguntungkan perusahaan multinasional. “Banyaknya pelonggaran pajak justru akan merugikan negara,” kata dia.
Pelonggaran pajak, tutur Bintang, menyebabkan perusahaan dapat dengan mudah memindahkan induk usahanya ke negara dengan tarif yang lebih rendah. Pada 2021, rata-rata pendapatan pajak ASEAN hanya sebesar 14,46 persen dari PDB di kawasan ASEAN. Jumlah ini hanya separuh dari rata-rata pendapatan pajak negara-negara OECD (Organization of Economic Co-operation and Development), yang mencapai 34,11 persen.
Penjelasan Bintang ini merupakan salah satu hasil riset terbaru The PRAKARSA yang bertajuk "Assessing the Fiscal Incentives Policies for Foreign Direct Investment in ASEAN Member States 2021-2023". Riset itu diluncurkan hari ini, Kamis, 6 Juni 2024, dalam diskusi publik bertema "Update on Fiscal Policy Landscape in ASEAN: From Macro Economics to Public Spending".
HAN REVANDA PUTRA