TEMPO.CO, Jakarta - Kasus meledaknya pabrik smelter di Indonesia kembali terjadi baru-baru ini. Pabrik smelter nikel milik PT Kalimantan Ferro Industry di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur itu meledak sebanyak dua kali pada 16 dan 17 Mei 2024.
Sebelum insiden ledakan, proyek pembangunan pabrik smelter nikel PT KFI telah menuai kontroversi. Laporan Tempo berjudul Serampangan Proyek Pelebur Nikel Kutai Kartanegara pada 30 November 2023 menyebut pembangunan smelter nikel PT KFI diduga tanpa analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal. Hal tersebut kemudian dibenarkan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Rafiddin Rizal, yang menyebut Amdal PT KFI saat itu masih dalam proses dan menunggu surat kelayakan untuk diterbitkan.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi mengatakan berulangnya kasus ledakan pabrik smelter di Indonesia karena pemerintah tidak ketat dalam penerapan aturan. Ia juga menduga adanya pengabaian dari pemerintah di segi standar keamanan, sehingga menyebabkan kasus ledakan pabrik smelter itu kerap terulang.
"Saya menduga ada pembiaran, karena saya mendasarkan pada standar internasional yang jarang terjadi kecelakaan," ujarnya, dikutip Jumat, 24 Mei 2024.
Meski begitu, menurut dia, saat ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk mereformasi kebijakan soal operasional pabrik smelter di Tanah Air. Pemerintah diminta tidak hanya berfokus pada investasi di bidang smelter, tapi juga perlu adanya persyaratan yang tepat bagi para investor tersebut.
"Khususnya persyaratan di keamanan sistem, kalau perlu gunakan standar internasional yang zero accident," kata Fahmy. Ia mengatakan, bahwa pemerintah juga harus berani menolak perusahaan pabrik smelter yang tertarik berinvestasi di Indonesia, apabila tidak dilengkapi dengan standar keamanan yang tinggi.
Tak hanya itu, ia mengatakan bahwa pemerintah perlu melakukan audit forensik bagi sejumlah pabrik smelter eksisting. Pemeriksaan pabrik smelter eksisting ini ditujukan untuk mengetahui sudah atau belumnya penerapan standar internasional dalam kegiatan operasionalnya.
"Kalau tidak (standar internasional), pemerintah harus tegas dan berani menghentikan pabrik smelter eksisting itu untuk mencegah kecelakaan lagi," ucapnya.
Akibat meledaknya pabrik smelter ini berdampak pada para pekerja maupun warga di sekitaran pabrik. Karena itu, ia meminta supaya penyelesaian kasus ini tidak hanya berhenti di kepolisian yang kerap menetapkan tersangka kepada pemilik pabrik.
Semestinya, ucap Fahmy, aparat penegak hukum juga menelusuri lebih jauh apakah ada yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memberikan izin kepada pabrik smelter yang standar keamanannya rendah. "Barangkali ini bisa ditelusuri ke Kementerian ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) yang memberikan izin, jangan-jangan ada kongkalikong. Izinnya diberikan (mesti standar keamanan rendah), kemudian ada imbalan," katanya melihat potensi kemungkinan tersebut.