Kebijakan Pemerintah Tak Berpihak ke Petani
Pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Profesor Totok Agung Dwi Haryanto mengharapkan pemerintah meningkatkan indeks pertanaman meningkatkan produksi padi dan kesejahteraan petani dibandingkan membuka lahan sejuta hektar untuk padi Cina.
"Sebenarnya kalau pemerintah serius ingin membangun kebijakan kedaulatan pangan, kita masih punya potensi di aspek peningkatan indeks pertanaman," kata Totok di Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis sore.
Ia mengatakan jika usia tanaman padi rata-rata 3,5 bulan dan ditanam pada lahan sawah beririgasi di Indonesia yang luasnya mencapai 7,1 juta hektare, ada peluang membuat pertanaman padi sebanyak tiga kali dalam setahun.
Saat ini, kata dia, rerata indeks pertanaman padi di Indonesia baru mencapai 1,55 yang berarti masih ada sisa waktu pada lahan sawah beririgasi sebanyak 1,45 kali penanaman.
"Dengan kata lain, 1,55 itu menggambarkan bahwa hanya separuh dari luas lahan sawah 7,1 juta hektare itu yang ditanami padi dua kali dalam setahun, sisanya satu kali. Berarti ada lahan yang tersedia di sawah irigasi kita seluas 3,5 juta hektare yang ditanami padi satu kali dalam setahun, padahal itu adalah sawah," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.
Menurut dia, yang menjadi persoalan hingga saat ini belum ada data valid terkait di mana dan kapan lahan-lahan sawah itu hanya ditanami padi satu kali dalam setahun.
Ia mengatakan jika ada data valid, maka sisa lahan sawah yang belum ditanami padi itu 3 kali setahun itu bisa ditingkatkan indeks pertanamannya.
"Ini akan membutuhkan investasi yang jauh lebih rendah daripada mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan," katanya.
Prof Totok menilai kebijakan untuk mencetak sawah baru 1 juta hektare di Kalimantan untuk food estate dengan menggunakan investasi dari Cina saat ini sebetulnya belum menjadi prioritas.
"Disebabkan bahwa kita itu sebetulnya memiliki kemampuan dari segi SDM (sumber daya manusia), teknologi, maupun budaya yang mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan pangan. Hanya persoalannya di tingkat kebijakan yang menurut hemat saya, belum berpihak kepada kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan di Indonesia," katanya.
Apabila kebijakan mencetak 1 juta hektare sawah baru di Kalimantan dengan menggunakan investasi dari luar negeri itu dilakukan, kata dia, setidaknya akan terjadi pengambilalihan hak kepemilikan lahan dari masyarakat lokal dan hal itu akan berpotensi menimbulkan konflik.
Selain itu, kata dia lagi, di Kalimantan akan ada masalah lagi terkait dengan kesuburan lahan maupun ketersediaan air untuk irigasi selama satu tahun, sehingga setidaknya ditanam di pulau tersebut hanya bisa dilakukan satu tahun.
"Atau kalau mau menjadi dua kali setahun, perlu investasi lebih banyak untuk penyediaan air," katanya.
Menurut dia, food estate di Kalimantan tidak terkait dengan kesejahteraan petani, karena ketika produksi padinya banyak akan semakin lemah harga tawar produk panen petani seperti halnya harga gabah jatuh saat panen raya.
Selain itu, kata dia, pengembangan padi 1 juta hektare dengan investasi dan tenaga asing itu menggambarkan seolah-olah pemerintah kurang percaya dengan kepakaran dan penguasaan teknologi oleh petani maupun ahli pertanian di Indonesia.
"Oleh karena itu, saran saya kalaupun mau mengembangkan sawah 1 juta hektare itu perlu kajian yang saksama dan detail, terkait dengan aspek politik, ekonomi, budaya, dan juga keberlanjutan daya dukung lahan," katanya.
ANTARA
Pilihan Editor Wacana Iuran Dana Pariwisata di Tiket Pesawat: Pemerintah Bisa Kantongi Ratusan Miliar Setahun